KALI ini, aku nggak boleh gagal lagi.
Sudah tujuh kali laki-laki di depanku menghela napas. Aku sampai bisa menghitung karena dia mengembuskannya keras-keras. Mungkin dia sudah lelah padaku. Sebenarnya aku juga sudah lelah pada diriku sendiri. Tapi, aku bertekad untuk tidak pulang dengan tangan kosong kali ini.
"Jadi, kamu pikir kualifikasi kamu cocok dengan kandidat yang kami cari?" tanyanya sinis.
Aku berdeham. "Iya, Mas. Ciri-ciri saya sudah sesuai dengan yang tertulis persyaratan. Perempuan, usia di bawah 35 tahun, bisa naik motor dan punya SIM C, disiplin, jujur, pekerja ke––"
"Tapi kamu alergi hewan!" tanyanya sembari melotot ke arahku. "Saya ini lagi cari perawat hewan untuk pet shop saya, itu kenapa saya tulis 'Harus Pecinta Hewan, Khususnya Anjing dan Kucing' di persyaratan. Kalau kamu alergi, ngapain ngelamar posisi ini?!"
"Saya pecinta hewan kok, Mas. Biarpun alergi, saya nggak benci sama hewan," balasku sambil menyeringai.
"Bukan itu maksud saya! Kamu tahu, kan, kalau calon perawat hewan ini nantinya bakal ngurus dan ngasih makan hewan, grooming, sampai layanin pelanggan?"
"Kalau ngasih makan hewan dan layanin pelanggan, saya bisa, Mas!" jawabku semangat.
"Tapi pelanggan lebih sering datang ke sini buat grooming! Memangnya kamu bisa mandiin anjing atau kucing? Katanya kamu bersin-bersin kalau dekat hewan."
Ayo, Sofia... cari ide... putar otak. Pokoknya kamu harus dapat pekerjaan ini! "Hmm... saya bisa akalin, Mas!"
"Akalin gimana?"
"Saya bisa pakai masker. Nanti anjing atau kucingnya saya kunci di kandang, terus saya semprot-semprot mereka dari luar kandang."
Laki-laki di depanku mengangkat sebelah alisnya. "Terus gimana cara kamu sabunin dan keringin rambut mereka?"
"Air sabunnya saya masukin ke botol penyemprot, Mas, habis itu saya keringin mereka pakai hairdryer dari luar kandang juga. Beres, kan?"
"Itu, sih, namanya mandiin burung!" sembur laki-laki itu sambil membanting CV-ku ke meja, "Sudah, lebih baik kamu cari pekerjaan lain yang sesuai sama kamu. Mungkin kamu memang nggak cocok kerja di sini."
Buru-buru, aku mengatupkan telapak tangan di depan dada dan memasang tatapan paling mengiba yang kupunya. "Tolong, dong, Mas, saya butuh pekerjaan banget, nih. Saya janji, deh, nggak bakal bikin Mas dan semua hewan di sini kecewa."
"Gimana saya mau ngasih kerjaan kalau kamunya aja nggak bisa bantu saya?!" tanya laki-laki itu sambil melotot.
"Tapi, di persyaratan tertulis: Bagi yang belum punya pengalaman tetapi mau belajar, kami sangat senang untuk mendidiknya agar mencapai hasil yang maksimal. Itu tandanya saya bisa dapat training, kan?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala, kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Wawancaranya sudah selesai. Kamu boleh pul––"
TIDAK!!! Dia tidak boleh menolakku!!!
"––Serius deh, Mas, saya ini gampang diajarin!" potongku sebelum laki-laki itu meluncurkan ultimatumnya. "Kalau Mas butuh penjaga kasir, saya bisa, Mas! Mas butuh asisten buat belanja produk? Saya juga bisa! Oh... atau Mas juga butuh social media officer buat ngurus media sosial pet shop ini, saya bisa banget! Pokoknya saya bisa kerja rangkap deh, Mas!"
"Saya nggak but––"
"Jangan khawatir, Mas, saya juga bisa bantu dalam hal lain!" Aku terus mengoceh tanpa memberinya celah untuk menolakku. "Saya bisa bantu bersih-bersih ruangan. Oh, nggak cuma itu, saya juga bisa... bikin strategi kampanye untuk pet shop ini, Mas! Semacam... hmm... strategi kampanye public relations! Kita bisa mempromosikan brand value toko ini, menulis publisitas untuk media, lalu––"
"Sofia..." Laki-laki itu akhirnya menangkap bahuku hingga ocehanku terhenti. Dia menatapku seperti seorang guru yang bosan menasehati muridnya. "Lebih baik kamu cari lowongan pekerjaan yang lain."
Ucapan itu membuat balon semangatku mengempis. Setelah setengah jam menghabiskan waktu menjadi pencari kerja murahan dan mengerahkan energi persuasifku di ruangan ini, lagi-lagi yang kuterima hanyalah kalimat penolakan. Sungguh, para perekrut ini hanya tidak tahu perjuanganku mencari pekerjaan selama enam bulan terakhir.
"Oke kalau begitu. Terima kasih untuk waktunya," Aku menarik lembaran CV-ku dengan kecewa.
"Saya minta maaf, ya," kata laki-laki itu sebelum aku keluar. Astaga, aku bahkan tidak ingat namanya.
"Nggak masalah," jawabku sok tegar.
Jujur saja, aku tak pernah berencana melamar pekerjaan di pet shop atau jenis toko apa pun sebelumnya. Butuh waktu satu minggu untukku memikirkan opsi ini matang-matang, sampai akhirnya mencari pekerjaan di berbagai media dan melamarnya secara asal ke pihak-pihak yang membutuhkan karyawan dalam waktu cepat—aku bahkan sudah mendatangi tiga panggilan wawancara selama dua minggu terakhir! Sayangnya, sampai detik ini aku masih jadi tuna karya yang luntang-lantung mencari pekerjaan dan memohon-mohon kepada sang pewawancara agar diterima.
Seminggu yang lalu, aku mendapat kesempatan uji coba menjadi pramuniaga di toko bunga. Tapi, aku langsung 'dipecat' karena pemilik toko itu bilang bunga rangkaianku jelek, pelayananku kurang cekatan, dan senyumku seperti orang terpaksa. Yang terakhir kuanggap subjektif, karena aku tidak berpikir begitu.
Bukan cuma itu, aku bahkan sempat melamar menjadi barista di salah satu kafe. Awalnya, sang pewawancara terlihat tertarik padaku, tapi ketika aku diminta menyebutkan jenis-jenis kopi––aku cuma jawab cappucino dan latte, memangnya apa lagi?––dia justru memintaku belajar terlebih dahulu dan kembali lagi lain waktu. Kalau Bas tahu soal ini, dia pasti akan menertawakanku habis-habisan. Cowok itu sangat paham bahwa kopi dan aku tak pernah menjadi sahabat baik.
Mendadak, aku menyesal karena lebih sibuk memantapkan hard skill di bidang akademik ketimbang belajar merangkai bunga, meracik kopi, atau memandikan hewan selama ini. Aku juga menyesal mengapa Mama tidak memberiku vaksin alergi hewan waktu kecil, jika itu memang ada.
Terus, kenapa kamu tetap melamar pekerjaan-pekerjaan ini, wahai Sofia? Yah... karena terkadang pilihan yang terbentang di depan mata memang tidak sesuai dengan keinginan kita, kan?
Aku bergegas keluar dari ruang wawancara. Sekumpulan kucing langsung menyambut sembari melompat-lompat. Buru-buru, aku menutup hidung, sebelum makhluk menyebalkan ini membuatku bersin tanpa henti. Dua ekor kucing berbulu oranye menatapku iba, sepertinya mereka tahu kalau aku baru saja kehilangan kesempatan kerja untuk ke-sekian kalinya.
"Apa lihat-lihat? Dasar makhluk jorok, bau, pemalas!" desisku sambil melotot.
Aku meninggalkan dua ekor kucing itu dan berjalan cepat menuju pintu keluar toko. Namun, tiba-tiba seekor anak kucing sudah berdiri di atas flat shoes-ku dengan posisi yang mencurigakan.
"Jangaaan!!!" teriakku sambil berlari menghampirinya. Anak kucing itu berjingkat menghindariku, tapi kulihat sebuah cairan sudah menggenang di bagian dalam flat shoes itu.
"Oh, Tuhan..." Aku langsung bersandar di dinding dengan nelangsa.
Namaku Sofia Prajna Susanto.
Selamat datang di kehidupanku sebagai seorang lulusan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fresh Grad [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSofia percaya lulus kuliah akan membawanya pada kehidupan baru yang indah. Bekerja di konsultan PR ternama, punya gaji tetap, dan bisa menjadi apa pun yang dia mau. Dia sudah punya rencana matang untuk hidupnya, bahkan nilai dan prestasi yang memban...