"Haru, aku masih tidak percaya. Kamu mencegah rencanaku dan menggagalkannya. Jujur saja aku terkejut telah terpojokkan sejauh ini,".
.
.'siapa? suaranya terdengar familiar, tapi siapa?'
.
.
.'Dingin. Di mana aku? Aku mendengar suara pecahan kaca, disusul arus air yang bergerak masuk. Dingin ..., namun hangat. Mati rasa?'
.
.
."Ada apa, Haru?" Suara lembut Ibu ...,
"Haru, cepatlah kemari, kami sudah menunggumu sedari tadi!" Tawa teman-teman ...,
"Kau yang terbaik, Haru-kun!" Sensei ...,
"Haru, aku mencintaimu. Kumohon, Menikahlah denganku," Bocah manja ..., Eh. Siapa?
Ingatanku perlahan memudar, layaknya kepingan-kepingan film yang rusak. Dan saat segalanya menjadi kosong, secercah cahaya perlahan masuk melebarkan iris keemasanku, seiring dengan kelopak mataku yang perlahan terbuka.
Aku mengerjap pelan. Sangat pelan. Mataku yang setengah terbuka memandang langit-langit putih, bersamaan itu pula aku mendengar suara jeritan seorang wanita yang aku sadari ada disampingku. Matanya membelalak seolah tengah melihat hantu, disusul langkah cepatnya keluar ruangan.
"T-tung ...," Benda asing yang bersarang di kerongkonganku membuatku kesulitan berbicara. Tubuhku terasa berat. Bahkan untuk mengambil posisi duduk, aku perlu mengerahkan seluruh tenaga. Mengikuti naluriku, aku mulai melepas beberapa benda asing yang terpasang di atas dada dan perut, sebelum akhirnya mendengar suara sepatu yang bertabrakan dengan lantai di bawahnya.
Suaranya terdengar semakin jelas dan tiba-tiba menghilang. Berganti dengan suara napas yang terengah-engah. Aku menoleh, menatap seorang pria berbalut setelan rapi dengan buah anggur yang berserakan di sekitarnya. Kedua tangannya bergetar, sementara seorang wanita yang tiba-tiba datang hanya berdiri mematung di tengah ambang pintu. Pandangannya terfokus pada pria yang berdiri memunggunginya.
"Selamat malam ..., Haru," Lembut, jemari pria asing itu mengusap pucuk kepalaku diikuti tangannya yang meraih bahu kananku dan menjatuhkanku ke dalam pelukannya. Aku tak melawan. Kubiarkan kepalaku bersandar pada dada bidang pria yang kini memelukku erat.
Aku sama sekali tak mengenalnya, tapi setiap sentuhannya membuatku merasa nyaman. Seolah aku terbiasa termanjakan dengan pelukan dan sentuhan lembutnya.
"Tak perlu tergesa-gesa, kau bisa istirahat sekarang," Bisik pria itu kemudian.
"Suzue, segera persiapkan rehabilitasi untuk Haru," Titahnya setelah membaringkan tubuhku. Suzue menyahut, "Baik, Daisuke-san," Wanita itu segera keluar ruangan.
Pria yang kuduga bernama Daisuke itu membenamkan wajahnya di atas tangan kananku yang ia genggam erat. Aku tak dapat menangkap ekspresi apa yang terlukis pada wajah putihnya. Tapi tetesan air mata yang membasahi tangan kananku cukup memberiku dua opsi jawaban: Ia tengah bersedih atas penderitaannya dan yang kedua ia tengah berbahagia atas keberuntungan yang menghampirinya.
Tangan putihnya yang kontras dengan kulit pucatku bergetar, dan isak tangisnya mulai terdengar. Timbul keinginan untuk menenangkannya dengan berkata, 'Jangan menangis, semuanya akan baik-baik saja,' Tapi tubuhku yang seketika mati rasa tak mau bekerjasama dengan otakku. Membuatku yang hanya mampu terbaring lemah semakin merasa kesal dengan semua ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Enough
FanfictionCinta dapat melakukan banyak hal. Uang dapat melakukan segalanya.