Runtuh Asa Ladang Pertiwi

196 6 0
                                    

.
.
.

Ini senja yang pertama kali mempertemukanku dengan rinai hujan.
Aku bertanya pada sosoknya mengenai kembalinya debu angin itu meskipun telah hilang tersapu.
Kelak dalam satu langkah pijakan aku harus mengerti bagaimana keadaan terus mendorongku.
Bagai tangan ini memberi namun secercah timbal balik tak kudapatkan.
Haruskah aku menangis dengan cara tunas itu menagih janji pejuang?
Bukankah berjalan dalam ketidakadilan moral membuat setitik laksana terputuskan?

Satu detik maupun menit terakhir sudah terasa.
Aku tahu bagaimana menyadarkannya.
Apa ini cara terbaik yang kumiliki atau karena mampu?
Lelah sudah berusaha dalam titik yang gelap dan buntu.
Akankah asa ini menghilang?
Atau hanya sekadar mampir kepastian tanpa ada ujungnya?

Ini kali cermin kehidupan negeri tak bernyawa atas nyali.
Bukan karena seutas tali terbelit dalam sudut lemari.
Hanya saja mengungkit semua pembela yang rela bertumpah darah.
Lalu masihkah aku berjuang atau membuang perintah laksamana kutipan negeri?
Ini bukan sabda yang tuk didengar dikala memang sedang membutuhkan.
Namun inilah raga yang menyatukan suara negeri membangun asa.

Hadiahku hanya bentuk demokrasi tuntutan menuju keadaan yang lebih baik.
Memar yang membara bukan karena keteledoran semata.
Dibalik sejuta mimpi ada kisah yang terselip dalam benak jiwa.
Menjadi sosok pemimpinkah yang diinginkannya?
Aku tak pernah menyalahkanmu untuk memilih mimpimu.
Tetapi setidaknya milikilah satu tekad kuat tuk berusaha hidupkan cita-cita bangsa.

Aku berdiri di atas mimbar yang jauh bukan untuk bergurau.
Sudah selayaknya aku memberimu sebuah petuah dan menyeru lantang padamu.
Maukah kau tetap menjadi bagian dari hidupku ini?
Euforia bukanlah sebuah fana yang indah.
Melainkan sajak pembunuh dan peruntuh asa ladang bumi pertiwiku.
Demikianlah berjalan bersamaku menata asa kehidupan bangsa dan negeri tercinta ini.

.
.
.

Karya Sastra PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang