Gasta tak bisa berkata-kata saat tangannya lolos begitu saja ketika hendak mendorong lelaki itu dari hadapannya. Bulu kuduknya langsung menjalar naik, hawa dingin di atap semakin terasa menikam kulit pucatnya.
Tanpa harus memastikan sekali lagi apa yang baru saja terjadi, otaknya sudah dengan cepat menerjemahkan sosok lelaki di hadapannya. Sontak saja Gasta lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Penerangan di sekolah yang sedikit minim tak menjadi penghalang langkah lebarnya. Anak tangga yang dilewatinya terasa sangat panjang, dari balik jendela kelas bahkan terasa ada yang mengintainya, memerhatikan setiap langkahnya. Gasta mengumpat dalam hati karena tak kunjung sampai di lantai dasar.
Mungkin benar ia sedang ditegur sama Tuhan karena ingin bunuh diri bahkan sebelum sempat salat magrib dulu. Sekarang akal sehat lelaki itu sudah kembali sepenuhnya. Namun, sialnya hal itu justru membuatnya berpikir yang tidak-tidak.
Ia terus merasa dipanggil dan diintai dari berbagai arah. Seluruh penunggu sekolah mungkin sekarang sedang terheran-heran melihatnya berlari terbirit-birit seperti ini, bahkan beberapa kali nyaris jatuh dan menabrak tembok.
Jantungnya berpacu bertalu-talu, lututnya lemas, sampai-sampai ia tak lagi merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Tujuan Gasta satu-satunya adalah meninggalkan tempat itu sesegera mungkin.
Lelaki itu menyesal karena tak langsung pulang tadi sore. Sekarang, ia menanggung akibatnya. Jika menghadapi Geri dan teman-temannya Gasta masih berani sendiri. Tapi jika itu makhluk-yang bahkan tidak ingin Gasta sebutkan namanya, lelaki itu benar-benar angkat tangan.
Setelah melewati koridor kelas dan puluhan anak tangga, Gasta akhirnya berhasil mendaratkan kaki bergetarnya di lantai selasar. Lapangan besar SMA Cakranegara langsung menyambutnya. Tak ada sedikit pun penerangan di sana, tiang lampu yang berdiri di beberapa bibir lapangan tak menyala.
Hal itu membuat suasana semakin mencekam. Gasta kembali menyeret kakinya menuju gerbang sekolah, yang sialnya benda kokoh nan tinggi itu sudah digembok. Seperti kehilangan otaknya, lelaki itu terus mengguncang jeruji besi seolah mampu merobohkannya.
Sampai akhirnya tepukan di bahu membuat Gasta menjerit tertahan. Ia langsung menoleh, sosok pria tinggi berambut putih tertangkap retinanya. Jeritan lelaki itu kembali terlepas, kali ini lebih lantang dari sebelumnya.
"Eh eh kamu kenapa?" Pria itu mencoba untuk menenangkan Gasta, kendati ia pun ikut terkejut karena teriakannya.
"Setan! Setan!" Gasta memekik tak terkendali, ia bahkan berusaha untuk memanjat gerbang sekolah.
"Kurang ajar, saya manusia!" Pria itu memukul bahu Gasta keras.
Gasta memegang erat jeruji besi di depannya, perlahan ia menoleh kembali. Sekali lagi memerhatikan sosok di belakangnya. Benar, ia ingat, pria itu penjaga sekolah. Tapi, siapa yang tidak akan terkejut melihat penampilannya sekarang? Hampir seluruh rambutnya putih, bahkan bulu alisnya juga, wajahnya berkeriput, dan tiba-tiba muncul di saat Gasta sedang panik-paniknya.
"Kamu kenapa masih berkeliaran di sekolah jam segini?"
Gasta mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. Tubuh lelaki itu langsung merosot dan bersandar pada gerbang.
"Kenapa? Kamu sakit?" Pria tua itu tampak khawatir dan berjongkok di hadapan Gasta.
Sedang lelaki itu mencoba untuk menenangkan diri, ia meneguk ludahnya dan mengatur napas. "T-tadi ada yang bunuh diri. Dia melompat dari atas."
Pria penjaga sekolah itu mengernyit, ia memerhatikan kondisi Gasta yang tampak sedikit linglung. "Kamu ingat alamat rumahmu? Biar saya antar."
Gasta langsung menggeleng. "Pak, percaya sama saya. Saya melihat sendiri ada orang yang melompat dari atas sekolah. Terus, ada ...," Bayangan lelaki yang berada di rooftop kemudian muncul dalam benaknya. "Ada ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Brother [TERBIT]
Teen FictionBenua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di bumi, tapi merasa seperti orang mati. Sampai akhirnya takdir mempertemukannya dengan sosok yang tak...