Setelah kesepakatan yang terjadi antara dirinya dan Saga. Gasta benar-benar masih belum terbiasa dengan kemunculan hantu itu yang selalu tiba-tiba. Lihat saja sekarang, di tengah keseriusannya mengerjakan ulang laporan Biologi—yang kemarin sudah pernah ia kerjakan namun terperangkap di laptopnya yang rusak—jantung lelaki itu dibuat hampir copot karena Saga yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Bahkan saking terkejutnya, Gasta sampai mengumpat pelan sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri. Sial, bisa-bisa ia mati jantungan jika terus seperti ini. Gasta kemudian menyempatkan diri melirik sekeliling, takut-takut tindakannya tadi mengganggu pengguna ruang komputer lainnya.
Namun, untungnya tak ada yang mempedulikan lelaki itu. Ia lantas melayangkan tatapan tajam kepada Saga yang masih menunjukkan tampang polos bak tak berdosa di sampingnya.
"Gue udah bilang kalo muncul jangan suka tiba-tiba," geram Gasta, sekuat tenaga menekan suaranya agar tidak sampai terdengar oleh yang lain.
Namun, yang diomeli justru hanya tertawa pelan. "Lo ngapain, sih, di sini lama banget? Nggak bosen?"
"Ada tugas yang harus gue kelarin hari ini juga. Sekarang, lo pergi, jangan ganggu."
Saga mendengkus. Ia kemudian melirik layar komputer Gasta yang menampilkan word lembar pertama. "Itu, 'kan, tugas kelompok, ngapain lo kerjain sendirian? Tadi gue lihat temen-temen lo malah asik di kantin makan-makan."
Gasta memilih untuk diam. Ia juga tidak punya alasan yang tepat untuk membela dirinya atas pertanyaan Saga yang terkesan memojokkan.
"Lo itu jangan mau di babu begini dong. Lo yang capek mikir terus mereka tinggal terima beres doang. Mending nanti bilang makasih, ini malah balik nge-bully." Saga kemudian naik ke meja komputer di sebelah Gasta lalu duduk di sana. "Lo kapan balas mereka kalo kayak gini terus? Ingat, lo udah ngulur waktu lima hari."
Gasta menghela napas pelan. Ia memilih untuk tak lagi menghiraukan Saga. Apa yang dikatakan lelaki itu terlampau benar dan cukup telak menamparnya. Gasta selalu mengulur waktu, bahkan ketika ia mempunyai sempat untuk membalas perlakuan teman-temannya selama ini. Namun, entah mengapa, Gasta merasa tak tega, apalagi rencana-rencana Saga itu terbilang kelewatan. Masa Gasta harus memasukkan bangkai tikus atau sampah bau jigong ke tas teman-temannya. Setan itu memang gila.
"Eh, ada Luna."
Mendengar itu, Gasta langsung mengangkat pandangan, dan benar saja, sosok yang disebutkan Saga baru saja selesai menutup pintu ruang komputer dengan laptop dalam pelukannya.
Gasta meneguk ludahnya dan langsung menegakkan tubuh, lebih-lebih saat Luna mengambil tempat di meja tepat di seberangnya. Di ruangan ini, selain komputer, disediakan juga meja panjang untuk siswa yang membawa laptop sendiri dan membutuhkan WiFi untuk mengerjakan tugas. Maka dari itu, sekarang Luna sudah mulai fokus dengan laptopnya tanpa perlu melirik ke arah Gasta yang tampak kerepotan mengontrol detak jantungnya.
"Gas, kesempatan lo, nih, buat deketin Luna." Saga melompat turun dari meja. Lelaki itu sudah sangat gemas dengan Gasta yang beberapa hari ini selalu ia pergoki memerhatikan Luna diam-diam. Dan dua hari yang lalu barulah lelaki itu mengakui bahwa ia menyukai Luna sudah dari SMP.
Yang benar saja, Gasta memendam perasaanya hampir tiga tahun. Jika itu Saga, sudah lama gadis itu menjadi miliknya. Tapi, ini Gasta, lelaki terpengecut yang pernah ia kenal.
"Udah sana, spesies kayak Luna ini jarang ditemukan, nanti keburu diembat orang, lo yang nangis-nangis."
Gasta menurunkan pandangannya dari Luna saat gadis itu mendadak memindai sekeliling dengan iris hitam legamnya yang begitu cantik. Jantung Gasta bekerja semakin brutal karena nyaris tertangkap basah. Ia mulai berkeringat dan merasa gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Brother [TERBIT]
JugendliteraturBenua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di bumi, tapi merasa seperti orang mati. Sampai akhirnya takdir mempertemukannya dengan sosok yang tak...