Gasta merasa seperti baru pingsan dan terbangun di kamarnya. Ia menyisir sekeliling, mencerna apa yang baru saja terjadi. Lantas, netranya menemukan Saga yang bersimpuh di lantai, satu tangannya menopang tubuh dan yang lain mencengkeram dada.
Gasta terkejut bukan main melihat Saga yang seperti menahan sakit luar biasa. Ia kemudian turun dari tempat tidur—karena saat kembali ke tubuhnya tadi, Gasta menemukan dirinya sudah terduduk di tepi kasur—menghampiri Saga yang tampak kesakitan.
"Ga, lo kenapa?" Gasta mencoba menyentuh bahu Saga, akan tetapi tentu saja tidak bisa. "Apa yang terjadi?" Lelaki itu panik, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Di sini hanya Gasta yang bisa melihat Saga, bagaimana mungkin ia meminta bantuan kepada bundanya.
Saga sendiri hanya memejamkan mata, gigi-giginya saling menggigit semakin kuat. Ia juga tak tahu apa yang terjadi. Beberapa saat lalu ia terlempar keluar dari tubuh Gasta dan entah mengapa dadanya seperti ditikam berulang kali. Rasanya ia seperti akan mati sekali lagi.
"Ga, lo jangan bikin gue takut begini." Gasta semakin frustrasi, lebih-lebih saat Saga belum juga merespons ucapannya.
Saga terjatuh, ia menggeliat kesakitan, kini erangannya pun terdengar kian lantang. Beberapa saat ia menyibak kelopak matanya, menatap Gasta yang tampak panik, sebelum akhirnya tubuh lelaki itu menghilang, bagai tersapu angin yang bertiup entah dari mana.
Gasta terkejut bukan main, ia memindai sekeliling kamarnya, mencari sosok Saga yang tak lagi ditemukannya. Gasta bahkan berlari turun ke lantai dasar rumahnya, sempat membuat Windi terkejut karena melihat anaknya terkencar-kencar berlarian ke hampir seluruh sudut ruangan.
Netra lelaki itu menyisir halaman rumahnya yang menjadi pelarian terakhir. Matanya yang tampak memancarkan kekhawatiran benar-benar tak bisa mendeteksi keberadaan Saga.
Ia menghilang. Saga ... benar-benar menghilang.
Setelah kejadian malam itu, Gasta tak bisa tidur tenang. Lebih-lebih saat Saga tak pernah muncul lagi setelahnya.
Pagi-pagi Gasta menyusuri koridor utama SMA Cakranegara, jika tak salah, ia merasa seperti terus diamati. Selama ia bersekolah di Cakranegara, lelaki itu tak pernah merasa menjadi pusat perhatian seperti ini. Hadirnya selalu tak dipedulikan. Namun hari ini, siswa-siswa yang berlalu-lalang tampak memberinya jalan.
Keheranan lelaki itu tak sampai di sana. Saat ia menginjakkan kaki di kelas, seluruh penghuninya tampak tersenyum ramah ke arah Gasta. Gasta merasa benar-benar asing dengan sikap mereka. Lebih-lebih mejanya tampak bersih dari coretan-coretan nyeleneh.
Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang sudah dilakukan Saga? Lelaki itu baru sekali mengambil alih tubuhnya namun sudah sangat banyak yang berubah. Gasta merasa benar-benar canggung diperlakukan seramah ini oleh teman-temannya.
Saat ia baru saja mendudukkan tubuhnya di atas bangku. Lagi-lagi Gasta dibuat terheran oleh kedatangan Tora dan menyerahkan lembaran fotocopy laporan bersampul biru tua. Gasta bingung dan hanya menatap Tora dan benda yang diserahkannya bergantian.
"Ini laporan Biologi yang lo minta kemarin, gue udah print sama jilid sekalian."
Gasta mengernyit, kapan—astaga ini pasti ulah Saga. Ia kemudian mengambil laporan tersebut dan mengecek isinya. Itu hasil kerjanya, sepertinya Saga yang sudah menyelesaikan semuanya dan meminta Tora untuk mengerjakan sisanya. Tapi ... kenapa Tora mau-mau saja diperintah begini?
"Kalo lo butuh sesuatu bilang aja, gue mau ke kantin, sarapan."
Setelah itu Tora pergi, menyisakan Gasta yang masih tenggelam dalam kebingungannya. Benarkah dunia sudah terbalik? Kali ini, benarkah takdir berpihak kepadanya? Semua tindakan bullying yang selama ini ia terima, benarkah sudah berakhir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Brother [TERBIT]
Ficção AdolescenteBenua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di bumi, tapi merasa seperti orang mati. Sampai akhirnya takdir mempertemukannya dengan sosok yang tak...