Gasta duduk termenung setelah plester terakhir berhasil direkatkan untuk menutup lukanya. Perkataan setan yang menemuinya di lapangan beberapa saat lalu terus menggantung di kepala. Mungkinkah benar ia terlalu bodoh hingga diinjak-injak seperti ini?
Tapi, Gasta cuma tidak ingin mencari masalah. Melawan mereka hanya akan membuat semua menjadi semakin runyam. Ia juga tak ingin menyeret Windi jika ia nekat membalas apa yang selama ini ia alami. Gasta hanya ingin menyelesaikan sekolahnya dengan baik, mendapat nilai terbaik dan bisa melanjutkan ke universitas yang ia inginkan.
Gasta tak pernah berpikir untuk melakukan pemberontakan sekecil apa pun di masa putih abu-abunya. Ia benar-benar tak apa-apa diperlukan seperti ini. Selama lebih dari setahun ini Gasta bisa mengatasi semuanya, hal itu hanya untuk Windi, ada bundanya yang harus ia bahagiakan, yang harus ia jaga kehormatannya.
Maka dari itu pula Gasta menanggung semuanya sendiri. Ia termasuk murid kesayangan guru-guru, jika sekali saja ia mengadu, tentu masalahnya akan diatasi dengan cepat, tapi mungkin Windi akan diseret kemudian, itu yang Gasta hindari selama ini.
Namun, ternyata memang benar manusia itu selalu mempunyai sisi egoisnya. Dada lelaki itu terasa ditikam saat netranya menangkap gelak tawa siswa lain di lapangan sekolah. Mereka tampak bahagia menggiring bola, masa putih abu-abu mereka dilalui dengan penuh canda dan tawa. Tapi, kenapa hanya dirinya yang terpuruk seperti ini? Kenapa hanya dirinya yang tidak mempunyai teman dan orang yang bisa berpihak kepadanya?
Gasta sadar sikap penyendirinya ini adalah masalah. Tapi, bukankah takdir terlalu kejam membuatnya seperti ini sekarang?
"Gasta, kamu bisa istirahat di sini kalau mau, saya bisa bantu berbicara ke guru mata pelajaranmu selanjutnya."
Suara Dokter Tiara menarik Gasta keluar dari lamunan. Lelaki itu tersenyum tipis, ia kemudian menurunkan celana olahraganya yang tadi dilipat ke atas. "Nggak apa-apa, Dok, saya balik ke kelas aja, lagian cuma lecet sedikit."
"Ya sudah, kamu hati-hati, ya, jangan sampai jatuh lagi."
Dokter Tiara ini dulu pernah Gasta bantu membawa beberapa peralatan UKS yang baru datang. Gasta juga sering ke UKS untuk meminta obat sakit kepala atau sekadar istirahat. Jadi, Gasta sedikit akrab dengan dokter UKS-nya satu ini, lebih-lebih beliau sangat ramah dan perhatian.
Gasta mengangguk lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan. Lelaki itu segera menuju ruang loker untuk mengambil seragam pramukanya yang ia simpan di sana sebelum menuntun tungkainya menuju toilet untuk berganti pakaian.
Di dalam sana tampak beberapa adik kelasnya tengah menyelesaikan keperluannya di depan urinoar. Gasta memilih untuk mengabaikan dan segera masuk ke dalam salah satu bilik dekat wastafel. Bel pergantian jam pelajaran tinggal beberapa menit lagi, jadi ia harus buru-buru mengganti baju olahraganya dengan seragam pramuka lalu kembali ke kelas.
Namun, selepas Gasta menanggalkan kaos olahraganya dari tubuh, tak sengaja telinga lelaki itu menangkap perbincangan adik kelasnya di luar bilik.
"Anak IPS yang kemarin kesurupan, tadi pagi kesurupan lagi. Katanya, dia menuntut kepalanya yang dipenggal di sekolah ini."
"Gue denger juga, dulu di masa penjajahan, sekolah kita ini tempat penjagalan masal. Makanya sering banget ada yang kesurupan."
"Anak-anak yang lain juga kapan hari diganggu waktu mereka nyebat di rooftop, tiba-tiba bambu yang numpuk di sana berjatuhan."
"Ih, serem juga. Ya udah yok buruan, kok tiba-tiba hawanya jadi nggak enak begini."
Lantas suara-suara itu digantikan oleh derap langkah kaki yang menjauh dari sana. Gasta langsung meneguk ludahnya. Netra lelaki itu menyisir sekeliling. Tanpa aba bulu kuduknya tiba-tiba meremang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Brother [TERBIT]
Teen FictionBenua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di bumi, tapi merasa seperti orang mati. Sampai akhirnya takdir mempertemukannya dengan sosok yang tak...