BAB 1

97 13 26
                                    

RADA.RINDU

Untuk sebuah rasa nyaman yang diberikan semesta, namun harus tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya senja di suatu sore.

ΦΦΦ

Aku senang ketika melihatnya, menyukai senyuman yang kerapkali terlukis indah di bibirnya. Manusia menyebalkan yang terkadang membuatku ingin melemparnya ke samudera lepas. Tapi aku menyayanginya. Entah. Entah kapan rasa yang begitu lancang ini tiba-tiba muncul begitu saja. Kepada seorang laki-laki biasa. Laki-laki yang ingin hidup sesuai aturannya sendiri. Tidak terlalu tampan, tapi ia begitu manis.

“Melamun mulu, nanti kesambet baru tau rasa,” ujar seseorang mengagetkanku.

Bima. Siapa lagi kalau bukan dia. Manusia yang selalu mengganggu hidupku, sahabat kecilku saat di Taman Kanak-Kanak, juga laki-laki yang berhasil mencuri sebagian dari diriku tanpa izin. Iya, dia Bima. Laki-laki yang kuceritakan di paragraf sebelumnya. Entah bagaimana perasaan Bima kepadaku. Kadang, aku kerapkali menerka-nerka mengenai semua yang kurasakan. Apakah dia menyukaiku? Atau apakah Bima sudah punya kekasih? Tapi semesta, kenapa harus Bima yang kutitipkan rasa ini? Kenapa tidak orang lain saja. Dia sahabatku, apakah jika Bima mengetahuinya dia akan marah? Lalu bagaimana hubungan pertemananku dengannya. Aku terus saja membatin memikirkan perihal itu. Aku takut kehilangan Bima.

“Bima, apaan sih kamu ngagetin aja tau,” kesalku. Bima malah terkekeh dan duduk disebelahku.

“Kamu mau nginep di sini, Lea? Nggak mau pulang? Ini udah se-jam loh saat bel pulang berbunyi.”

Aku kaget! Aku melamun? Selama itukah aku melamun? Kulihat sekeliling, ternyata sudah tidak ada siapa pun di dalam kelas, hanya ada aku dan Bima. Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Bohong! Hanya melamun sepuluh menit saja. Bima ini senang sekali mengerjaiku.

Bima malah tertawa seakan kegiatannya mengerjaiku adalah kegiatan yang tidak boleh sampai terlewatkan. Suara tawanya, Bima, jangan tertawa seperti itu, jangan membuatku semakin dalam menyukaimu. Aku membatin.

“Kita udah kelas sebelas, Lea. Dan kamu masih senang sekali melamun. Aku nggak suka kamu senang melamun. Jangan kebiasaan melamun untuk sesuatu yang nantinya akan melukaimu.”

Sok tahu!

“Memangnya, apa yang suka kamu lamunkan?”

“Tidak ada, Bim. Ayo pulang.” Aku melangkah pergi begitu saja. Meninggalkannya tanpa jawaban. Bima pun mengejarku hingga langkah kami beriringan hingga tempat parkir. Lalu aku menaiki motor vespa milik Bima yang berwarna telur asin itu.

ΦΦΦ

Awan cerah berubah mendung. Titik hujan mulai turun hingga hujan yang kecil semakin membesar. Alhasil, bajuku dan Bima cukup basah. Kami menepi di sebuah kedai kopi. Tepat sekali, karena setidaknya sebuah kopi mampu sedikit menghangatkan tubuhku yang sudah menggigil.

Bima tiba-tiba membuka hoodie hitam yang selalu ia gunakan lalu tanpa bertanya ia langsung memintaku memakainya.

“Pakai, Lea. Kamu pasti kedinginan.”

“Tapi kamu ... .”

“Jika aku memintanya, turuti saja Alea Kalisha, ini nggak akan membuatmu sulit bernafas.”

Aku mendengus mendengarnya. Jika seorang Bima sudah menyebut nama lengkapku, itu artinya kata-katanya tidak boleh dibantah. Apa yang ia katakan harus segera dituruti. Dasar manusia batu! Mau tak mau aku menurut saja. Memakai hoodie hitamnya yang aku yakin sebenarnya Bima pun kedinginan. Ini yang semakin membuatku menyukainya semakin dalam. Perhatian yang Bima berikan kepadaku membuatku semakin jatuh ke dalamnya. Bima, jangan seperti ini, kumohon.

Sembari menunggu hujan reda, aku dan Bima memilih menikmati secangkir kopi saja. Aku rasa, setidaknya cukup untuk membuat bibirku tidak mengigil karena dingin.

“Mas!” Pegawai itu datang lalu bertanya aku dan Bima ingin memesan kopi seperti apa.

“Saya kopi hitam, ya, Mas.”

“Kalau pacarnya?” tanya Si Mas itu. Aku tersedak padahal sedang tak meminum atau memakan apa pun. Pertanyaan Si Mas tadi, aku tak tahu harus bagaimana.

“Aku ....”

Cappuccino aja,” jawab Bima langsung seakan sudah tahu apa yang akan aku pesan.

“Baik, Mas, Mbak, akan saya buatkan.”

Si Mas tadi pergi untuk menyiapkan pesanannya. Aku memilih diam, tidak tahu harus bagaimana. Padahal hanya pertanyaan dari orang asing yang seharusnya tidak mempunyai efek apa pun. Seharusnya hati ini tidak perlu mudah untuk mengartikam sebuah rasa aneh yang seharusnya tidak ada. Dan aku, aku terlalu takut untuk mengatakannya. Tidak. Jangan sampai, aku tak ingin hubunganku dengan Bima merenggang.

“Lea, kamu masih ingat nggak dengan sepupuku yang bernama Joe?” tanya Bima menyadarkanku yang sepertinya melamun lagi.

Iya, aku ingat betul Joe. Nama sebenarnya Juna, tapi entah kenapa dia ingin sekali dipanggil Joe. Biar keren katanya saat itu. Joe dua tingkat di atasku. Laki-laki yang cukup tampan, laki-laki yang konsisten dengan cita-citanya untuk menjadi seorang dokter.

“Iya, masih, kok. Emang Joe kenapa?”

“Dia akan berkunjung ke rumahku, Lea, setelah sekian lama. Dan katanya, dia ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah? Tentu, Bim. Aku merindukan sepupumu yang sama menyebalkannya kayak kamu. Sekarang, dia gimana?”

“Kuliah. Jurusan ke dokteran, Lea,” ujar Bima. Ada raut bahagia di matanya. Karena di antara aku, Bima dan Joe, memang Joe lah yang selalu konsisten dengan mimpi-mimpinya.

“Joe nggak pernah main-main sama mimpinya.”

“Kamu bener, Lea. Dan kabar baiknya, dia bakalan pindah kuliah di Jakarta, Lea!” serunya.

Aku tentu senang mendengarnya. Bahagia sekali karena Joe akan kuliah di Jakarta. Dia sudah seperti abangku, walau sangat menyebalkan. Lalu si Mas tadi datang membawa pesanan aku dan Bima, percakapan kami pun terhenti. Si Mas yang belakangan aku ketahui bernama Genta itu pun kembali ke pekerjaannya setelah menjawab ucapan terima kasih dariku

Semesta, hari ini aku ingin kembali menitipkan sebuah cerita sederhana dengan Bima. Di sebuah kedai kopi dengan dua cangkir kopi yang berbeda, namun tetap sama terbuat dari kopi. Semesta, aku menitipkan cerita ini padamu agar ketika aku lupa, Kau bisa mengingatkannya. Meski kutahu, setiap hal yang berkaitan dengan Bima tidak akan pernah aku lupakan. Semesta, jangan cepat-cepat menjalankan waktu, ya. Izinkan aku menikmati secangkir kopi dengan Bima ribuan kali lagi. Dia bahagiaku, meski aku tak tahu apakah aku bahaginya atau bukan.

ΦΦΦ

Kunjungi Instagram dari Rada Rindu agar bisa membaca tulisanku yang lain. Juga untuk sekiranya melepas rindu untuk seseorang yang hatinya tidak tahu untuk siapa.

INSTAGRAM;
@RADA.RINDU

Bima & AleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang