BAB 2

38 11 2
                                    

RADA.RINDU

Untuk rasa hangat yang selalu dirasakan, yang kita sendiri enggak tahu apakah sifatnya sementara atau selamanya. Untuk selalu terus bertahan dan enggak lelah memperbaiki. Ya ini bagian dari sebuah perjalanan juga.

ΦΦΦ

Akan 'kah semesta menemukan titik lelah? Lelah untuk segala hal yang kerap diprotes manusia. Yang selalu tidak bisa menerima apa-apa yang sudah diberikan semesta. Tapi, bukan 'kah memang begitu? Yang namanya manusia memang tidak akan pernah merasa puas untuk apa pun. Sudah diberi satu, ingin yang lain. Itulah sifat murni manusia, rakus.

“Bim, boleh capek nggak untuk sekali aja jadi manusia? Boleh mengeluh nggak sama semesta?”

Entah bagaimana bisa, tapi pertanyaan konyol itu keluar begitu saja dari bibirku. Dihalaman belakang rumahku, disebuah taman kecil yang menjadi tempat kesukaanku dan Bima mengobrol, kami saling memandang langit selepas hujan dengan ditemani dua cangkir coklat panas buatan Ibu. Setelah mengantarku, Bima tidak langsung ingin pulang ke rumahnya, tapi ke rumahku. Ia bahkan sudah berganti pakaian yang dipinjam dari Bang Farraz, abangku.

“Boleh kok, Lea. Tapi jangan terlalu lama, juga jangan terlalu sering.” Bima masih tetap fokus melihat awan yang mendungnya sudah semakin hilang.

“Kenapa? Kenapa manusia nggak diperbolehkan untuk selalu mengeluh? Tapi kan, tiap capeknya manusia itu beda-beda. Ada juga manusia yang setiap hari hidupnya capek.” Entah sebenarnya topik apa yang ingin aku angkat menjadi pembicaraanku dan Bima. Aku tidak mengerti sebenarnya dengan pertanyaan yang aku ajukan. Tapi biarlah, biar Bima sedikit berpikir menjawabnya.

Bima menatapku serius, aku pun balik menatapnya sebelum akhirnya Bima menjawab, “Itu namanya nggak bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan, Lea. Seperti kata kamu, bahwa tiap capek manusia itu beda-beda. Banyak macam dan bentuknya. Coba deh, kalau saat akan turun hujan, saat hujan, dan setelah hujan kamu perhatikan awan,” kata Bima.

“Saat hujan akan turun, awan yang mulanya terlihat cerah berubah menjadi mendung. Lalu setelahnya diikuti dengan turunnya air langit yang perlahan kecil kemudian membesar. Dan setelahnya, sudah. Hujannya akan reda, Lea. Awan mendungnya akan hilang. Lalu nanti, setelah hujan akan muncul pelangi indah yang mewarnai langit. Hidup begitu, Lea. Enggak jauh beda sama hujan. Selalu ada hal-hal yang kita sukai dan enggak kita sukai. Tapi se-enggak sukanya kita pada hidup yang sedang berusaha kita jalankan, kita enggak boleh lupa kalau banyak hal-hal yang menyenangkan. Begitu pun dengan hal senang, jangan terlalu berlebihan mengekspresikannya, karena kita tahu hal sedih selalu berdampingan.”

“Lea, hidup enggak melulu mengenai hal-hal capek aja. Tapi hal senang dan enaknya juga ada. Tergantung kita menjalani hidupnya seperti apa dan bagaimana. Karena kan, yang tahu apa maunya kita, ya, diri sendiri. Bohong kalau orang lain mengerti segala hal. Enggak. Diri kita yang tahu. Ya walau pun tiap ngerasain capek pasti hal yang dilakukan manusia kadang mengeluh. Nggak apa-apa, asal setelahnya kamu baik-baik aja dan tetap melanjutkan perjalanan.”

Penjelasan Bima yang panjang membuatku diam, tapi tidak bisa berbohong pula jika aku selalu senang tiap kali ia memberikan jawabannya. Selalu mampu membuatku mengerti. Bima benar, bohong kalau orang lain mengerti segala hal. Iya Bima, seperti kamu yang tidak pernah mau mengerti bagaimana perasaanku. Tidak mengerti, belum mengerti, atau mungkin tidak ingin mengerti.

“Terima kasih, ya, Bima. Terima kasih karena sudah enggak bosan dengar semua cerita aku. Terima kasih juga karena sudah enggak bosan untuk nemenin hari-hariku. Terima kasih Bim, untuk rasa hangat yang selalu dirasakan, yang kita sendiri enggak tahu sifatnya sementara atau selamanya. Untuk selalu mencoba bertahan dan enggak lelah memperbaiki. Ya ini juga bagian dari sebuah perjalanan.”

Bima & AleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang