BAB 4

20 7 27
                                    

RADA.RINDU

Cerita hari ini aku sudahi sampa di sini dulu, nanti kita akan bertemu kembali. Karena hari esok aku harus mempersiapkam diri, membutuhkan tenaga untuk berpura-pura kalau rasaku padamu hanya sebatas teman.

ΦΦΦ

Dua mangkuk bakso dengan dua es teh manis malam itu menjadi saksi perdebatan kecilku dengan Bima. Hanya perihal jarak, sebenarnya terlihat berlebihan karena tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun malam itu diperjalanan kami memilih untuk diam dan lebih menikmati udara malam. Sampai di depan rumahku pun, tidak ada yang kami bicarakan.

"Istirahat, Lea."

Aku hanya bergumam lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah hingga motor Bima tidak terlihat lagi. Aku langsung masuk ke dalam kamar, duduk ditepian ranjang, menghela nafas lalu memutuskan duduk di meja belajar. Mengambil buku yang mengisahkan sebuah perjalanan panjang yang aku sendiri belum tahu akhirnya. Yang aku tidak tahu perjalanan ini akan berakhir di mana dan dengan siapa. Semua masih menjadi tanda tanya yang belum tahu jawabannya bagaimana. Hanya menunggu waktu sampai akhirnya aku tahu, tujuan akhirku akan berhenti dimana.

Kadang kita memang membutuhkan perdebatan, agar hidup tidak melulu berjalan mulus. Meski begitu, kita tidak bisa bohong kalau hidup ingin bisa berjalan mulus. Mengapa harus memilih yang berbelok, berbatu dan terkadang licin kalau ada yang mulus, bukan?

Bim, aku memutuskan untuk menuliskan segala tentangmu agar aku tidak lupa. Tidak lupa untuk tiap-tiap hal yang sudah kita lalui. Tiap hal senang yang sudah kamu berikan untukku. Iya, Bim, aku tidak menuliskan kalau denganmu aku mendapat rasa sedih, karena selama yang kurasakan, denganmu aku mendapatkan senang. Selalu. Kamu selalu membuatku senang, Bim, seakan hal sedih tidak boleh berkunjung pada hidupku.

Aku tidak tahu apakah kamu akan membacanya? Atau kamu sudah membacaku? Ada rasa senang tapi takit jika suatu hari kamu membacanya, Bim. Senang karena aku akan mendapatkan rasa lega dengan kamu mengetahui semuanya, tapi takit jika kamu akan membenciku karena sudah berani menyukaimu tanpa izin. Tanpa seharusnya. Iya 'kan, Bim? Tidak seharusnya aku menyukaimu. Tidak seharusnya rasa ini tumbuh untukmu. Tidak, Bim, seharusnya ini untuk orang lain saja. Tapi perihal perasaan tidak ada yang tahu, itu bukan kendaliku, Bim. Aku pun tidak tahu, Bim, kenapa harus kamu yang kujadikan pelabuhan rasa cintaku. Sampai sekarang pun aku masih bertanya-tanya, tapi semesta belum juga berkenan memberikan jawaban. Jadi, tunggu saja, ya, Bim. Karena sebuah perasaan tidak selalu memerlukan alasan untuk jatuh pada siapa.

Cerita hari ini aku sudahi di sini dulu, nanti kita akan bertemu kembali, karena hari esok aku harus mempersiapkan diri membutuhkan tenaga untuk berpura-pura kalau rasaku padamu hanya sebatas teman.

ΦΦΦ

“Raja!” panggilku di lorong sekolah kepada salah satu teman sekelas Bima. Aku lupa memberitahu kalian, hari ini, Bima tidak masuk sekolah. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun kepadaku, bahkan ketika malam selepas makan bakso di warung Mas Adam.

“Alea, kenapa?”

“Bima nggak masuk sekolah, ya? Apa dia ngomong sama kamu alasan dia nggak masuk?” tanyaku saat aku sudah ada dihadapan Raja.

“Kamu nggak tau kalau dia ke Surabaya? Katanya 'kan Bima mau pindah, Al.”

Aku diam. Aku diam Bima saat mendengar penuturan dari Raja—sahabat dekatmu. Aku diam karena kamu tidak memberitahuku soal kepindahanmu itu. Kamu bahkan tidak pernah menyinggung perihal kepindahanmu ini, meski kita kerapkali bertemu. Setidakpenting 'kah sampai kamu tidak memberitahuku, Bima? Jika tidak untuk perasaanku, setidaknya beritahu aku sebagai sahabat kecilmu.

Bima & AleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang