RADA.RINDU
Kalau semesta saja memintaku untuk tetap mencintaimu, kamu bisa apa?
ΦΦΦ
Semesta, tidak kah Kau tahu bahwa perasaan ini sudah pernah berusaha aku redam. Berusaha agar aku dan hatiku saja yang tahu, meski aku tidak bisa berbohong jika aku ingin Bima tahu perihal perasaanku. Tentang rasaku padanya yang bukan sekadar perasaan seorang sahabat. Rasa sayangku padanya bukan karena jalinan pertemanan yang sudah terjalin erat. Mungkin awalnya begitu, namun berawal dari rasa nyaman yang menjelma menjadi jatuh cinta. Serupa bumi dan langit. Minyak dan air, mungkin rasaku juga begitu, sangat jauh berbeda. Sekeras apa pun aku berusaha mendapatkan Bima, yang namanya takdir Tuhan memang jauh lebih kuat. Namun, izinkan sedikit saja untukku berjuang, aku yakin dia akan melihatku.
Untuk seseorang yang aku sendiri tidak tahu hatinya untuk siapa. Semoga tidak untuk siapa pun kecuali aku.
“Sedang menulis apa?”
Suara yang begitu familier ditelingaku bertanya tepat di sisiku. Aku buru-buru menutup buku yang selalu aku bawa itu. Buku yang seluruh isinya hanya berisi mengenai Bima.
“Kak Joe!” seruku kaget karena kini Joe sudah berdiri di kamarku. Datang dengan kaus kemeja kotak-kotak dan celana jeans-nya. Aku langsung memeluk Joe, dia sudah seperti abangku. Laki-laki yang tingkah jahilnya sama seperti Bang Farraz.
“Kapan sampai, Kak?” tanyaku setelah melepaskan pelukannya. Dia tersenyum hangat sekali yang dibalas dengan senyum yang tak kalah hangat juga dariku.
“Baru saja. Terus langsung ke sini. Bertemu dengan gadis yang kini sudah bertambah dewasa. Gadis yang dulu sempat membenci sepeda yang membuatnya jatuh, padahal sepedanya enggak salah,” kata Joe mengingatkan aku kembali sepenggal kenangan di masa kecil, yang kadang membuatku malu jika mengingatnya.
“Nyebelinnya masih sama, ya.”
Waktu kecil aku memang sempat membenci benda bernama sepeda itu. Semua bermula dari aku yang ingin belajar sepeda menggunakan sepeda Joe, yang jelas saat iu tidak sama dengan tubuhku yang belum cukup tinggi. Tapi aku memaksa, sampai pada akhirnya Joe mengalah dan membiarkan aku memakai sepedanya. Sudah berulang kali Joe mengatakan untuk memegangi sepedaku agar tidak jatuh, namun bukan Alea kalau tidak keras kepala. Aku katakan saja jika aku sudah bisa. Sampai sepedaku hilang keseimbangannya membuatku terserempet sepeda motor yang saat itu melintas. Joe tentu saja langsung menghampiriku dengan khawatir sekali, tapi tiba tiba Bima datang seperti seorang pahlawan. Seperti seorang ayah yang memarahi teman anaknya karena membuatnya terjatuh. Bima marah pada Joe karena aku terserempet yang menyebabkan lututku berdarah, dan hari itu aku pertama kali melihat Bima semarah itu.
“Aku masih ingat betul tiap kejadian di masa kecilmu, Alea. Anak berkepala batu. Paling enggak mau kalo ada orang yang nyuruh-nyuruh. Yang mau hidupnya dia yang atur.”
“Dan, aku ketemu sama seorang Joe yang punya keyakinan sebesar hidup meyakini semesta. Keyakinan akan mimpi-mimpinya untuk menjadi dokter. Yang selalu sabar sama kehidupan yang lagi dijalaninnya. Tanpa pernah marah kalau ada hal enggak senang yang di dapat. Tapi sangat menyebalkan.”
Joe tertawa mendengar perkataanku lalu mengatakan, “Ternyata, Alea yang dulu jadi gadis yang maunya harus selalu diturutin, Alea yang nangis cuma karena enggak dibolehin beli es krim, sekarang sudah dewasa, ya.”
“Tapi aku tetap sama 'kan. Alea yang seperti ini, hanya tubuhku saja yang semakin tinggi.”
“Iya. Alea yang harus selalu kulindungi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bima & Alea
Teen FictionDari awal seharusnya aku tahu, bahwa rasa yang kumiliki ini adalah sebuah ketidakmungkinan yang akan berujung kecewa. Seharusnya sudah cukup status ini sebagai sahabat saja, tidak untuk yang lain. Aku yang salah semesta. Jadi, apabila Kau ingin meng...