RADA.RINDU
Lalu aku harus bagaimana lagi untuk mempertahankanmu? Karena nyatanya, yang membawa awan mendung itu adalah kamu.
ΦΦΦ
Sudah dua bulan setelah kepergian Bima, dua bulan juga perasaan yang aku punya tidak pernah berhenti merindukkanmu. Sudah aku coba untuk diredam, namun sia-sia saja. Buktinya setiap malam aku selalu menangisimu, Bim. Membuka sebuah kotak berisi foto-foto kita. Aku merindukkanmu, Bim, selalu. Meski memang selama dua bulan itu pula kamu tidak pernah berhenti mengirimiku sebuah pesan rindu. Tidak ada hari tanpa aku memikirkanmu, Bim. Seakan duniaku terasa begitu hampa. Hanya ada aku, dan tidak ada kamu. Rindu yang tertahan ini menyesakkanku, Bim.
Seperti saat ini, aku kembali membuka sebuah kotak berisi foto-foto kita. Mulai dari yang paling kalem, sampai ketika pose dimana aku seakan marah di sana. Hobimu selain menjahiliku adalah memotretku tanpa aku ketahui. Katamu, itu adalah hal yang kamu senangi. Benar 'kah begitu, Bim?
“Sayang.”
Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku buru-buru menutup kotak tersebut dan menyimpannya dibawah meja belajar, “Ibu,” ucapku saat melihat Ibu. Sorot matanya selalu menenangkan. Penuh cinta dan kasih.
“Makan malam udah siap. Ayah dan Abang pun udah nunggu kamu.”
“Iya, Bu. Maaf, ya,” ujarku karena telah membuat mereka menungguku.
“Ya sudah, Ibu tunggu dibawah, ya.”
Setelah mengusap kepalaku, Ibu keluar kamar. Maaf, Bim. Maaf karena permintaan terakhirmu untuk aku baik-baik saja tidak sepenuhnya aku lakukan. Karena selama kamu pergi, hidupku terasa tidak ada artinya. Akhir-akhir ini aku bahkan sering lupa menjaga kesehatanku. Jika dulu, saat kamu ada, kamu akan memarahiku karena tidak bisa menjaga kesehatanku. Kamu yang paling sering mengingatkanku tanpa lelah. Lalu aku yang selalu tersenyum karena ternyata kamu begitu banyak bicara.
Semesta, maaf karena selalu mengingat nama Bima.
Aku turun ke bawah, semua sudah duduk manis di meja makan, hanya aku yang baru datang. Ayah memberikan senyum paling hangatnya saat melihatku, Ibu yang memberiku sorot kasih, dan Bang Farraz yang seakan mengatakan kamu harus bisa baik-baik saja. Aku duduk disamping Bang Farraz. Tangannya menggenggam tanganku, kebiasan baru Bang Farraz saat aku duduk di meja makan, Bim.
“Lea, gimana sekolah kamu. Sebentar lagi ujian 'kan?” tanya Ayah saat kami sudah selesai makan. Kebiasaan kami memang tidak langsung meninggalkan meja makan, sebelum lima belas menit berlalu.
“Iya, Yah. Kira-kira sebulan lagi,” jawabku.
“Ayah nggak sadar kalau anak Ayah sudah dewasa. Rasanya baru kemarin kamu dan Abangmu sedang bermain bersama. Tapi sekarang lihat, Bu, mereka sudah berani memgambil keputusan masing-masing.”
“Iya, Ayah benar. Berarti umur kita semakin menua, ya, Yah,” kelakar Ibu. Kami tertawa.
“Usia itu nggak penting. Yang penting, Ibu sama Ayah harus selalu sehat, supaya bisa selalu menemani, Lea.”
“Nah, bener apa kata, Lea, Bu. Yang penting Ayah dan Ibu selalu sehat. Biar bisa liat gimana nanti calon Abang,” ujar Bang Farraz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bima & Alea
Genç KurguDari awal seharusnya aku tahu, bahwa rasa yang kumiliki ini adalah sebuah ketidakmungkinan yang akan berujung kecewa. Seharusnya sudah cukup status ini sebagai sahabat saja, tidak untuk yang lain. Aku yang salah semesta. Jadi, apabila Kau ingin meng...