Jika: Tay dan New dengan 3 putra

415 44 9
                                    

Pagi itu, New menerima rasa hangat lewat sebuah peluk dari Tay yang sudah berpakaian rapi. Ia tahu jika dekapan dari suaminya selalu bisa menenangkan dan menghangatkan, tapi rasa-rasanya ini terlalu panas.

Dekap itu New dulu yang menjeda.

“Kenapa?” tanya Tay dengan dua alis yang terangkat dan tangan yang masih tersimpul di belakang pinggang New.

“Kok kamu anget,” baru saja New akan meletakkan sebelah tangan di atas dahi Tay, Tay reflek melepaskan New dan mundur dua langkah. Seringai halus ia berikan pada wajahnya.

“Sini, gak!” perintah New.

Tay menggeleng cepat.

“Te,”

“New, aku ada meeting penting nanti,” kata Tay.

New mengernyit, kan, New hapal gelagat Tay yang ini, “Sini atau aku marah,” ancamnya.

Mendengar kalimat itu, Tay tidak berani maju, kakinya seakan tertancap dalam di tanah. Baginya kemarahan New lebih mengerikan dibanding dengan nilai saham perusahaannya anjlok. Karena tak ada gerakan dari si Suami, akhirnya New yang melangkahkan kaki. Saat ia berada sejajar dengan Tay, New melekatkan keningnya pada dahi Tay, kedua tangannya terangkat menangkup kanan kiri pipi Tay dan hangat.

“Diem, aku ambilin termometer,” ucap New pelan tapi tegas, ia gegas keluar kamar. 

Tay yang tadi sudah niat ngacir jadi makin tak berani beranjak barang sesenti. Ia sekarang hanya bisa duduk di pinggiran ranjang sambil berpikir siapa yang harus dihubungi terlebih dahulu karena sepertinya dirinya terancam jadi tawanan rumah hari ini.

New yang datang dengan langkah lebarnya langsung berdiri di hadapan Tay dan menyodorkan sebuah termometer. Tay paham dan membuka kancing kemeja, mengapit stik berwarna biru itu pada lipatan ketiaknya. 

Sembilan puluh detik dan alat itu mengeluarkan bunyi ‘bip’. Melihat angka digital pada alat itu, New malah mengulum senyum—tiga puluh delapan koma sembilan. Ditekannya belakang leher Tay sehingga kepalanya sekarang tenggelam di atas perut New.

“Hari ini di rumah aja dulu, ya, istirahat,” ucap New sambil mengusap-usap belakang kepala Tay. Ia tahu lelaki pujaan hatinya itu pekerja keras, dan sama dengan dirinya, semua pekerjaan harus selesai dengan sempurna. 

Tay mendongak, menatap New yang menunduk, “New, sayang, aku keluar bentar, ya. Bentaaaaar aja. Cuma tanda tangan kontrak, terus balik ke rumah, please,” ujarnya, sembari mencari belas kasih dengan menggoyang-goyangkan tubuh New pelan. 

Dahi New langsung mengernyit tidak suka, “Kamu kalau aku bilangin ngeyel, ya udah," ucap New seraya berlalu. 

"New, maaf. Meeting ini penting banget."

*****

New belum bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. Rasanya sedih karena sudah dua hari Nanon jatuh demam, flu dan belum ada tanda segera membaik. Kemarin siang Frank harus dilarikan ke IGD oleh wali kelasnya karena asam lambungnya naik, ia hampir pingsan di kelas praktikum. Dan parahnya, tadi pagi ia mendapati Tay yang terlihat sedang tidak baik-baik saja. Deadline pekerjaan juga menjaga Nanon dan Frank menyita separuh waktu istirahatnya. New merasa ia tidak bisa menjaga keluarganya. 

Kepala New jadi pening, ia tahu tidak akan bisa melarang Tay untuk istirahat di rumah. 

"Papa!" Purim terkejut karena saat membuka pintu kamar, ia menemukan New berdiri membatu dengan sebelah tangan mengurut pelipisnya. 

"Mau ke mana?" tanya New pada Si Sulung.

"Kampus. Ada kelas jam sembilan. Kenapa?" kepala Purim miring sedikit mencoba menafsirkan air muka New.

C U K U P  (TayNew; Bukan Cerita Bersambung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang