My Boy

593 45 28
                                    

"BRAKK"

Daun pintu itu menubruk tembok yang mengukungnya, New masuk ke rumah dengan tergesa, hentakan kakinya berat juga cepat. Air wajahnya menggambarkan rasa yang menjalar di hatinya— sedih dan marah lebur bersama.

"New," panggil Tay yang mengejar di belakang, tangan kanannya berayun menggapai lengan New cepat, menghentikan langkahnya dan membuat keduanya berhadapan.

"Neeeew, please, jangan kayak gini," ujar Tay memohon.

New memijit pelipis dengan tangannya yang bebas, "Ini udah keterlaluan, Te," arah pandang New tertumbuk di lantai, belum bisa memandang wajah Tay, "Seharusnya di sekolah mereka belajar, bukan malah baku hantam." Mata New sekarang menatap mata Tay; meminta pembenaran.

Belum sempat Tay memberikan respon pada ucapan New, anak berumur lima tahun dengan tas yang terlihat kebesaran itu berteriak, "Papah gak sayang Purim lagi!"

Pandangan Tay mengekor pada Purim yang kini berlari menaiki tangga, kemudian beralih kepada New, "Kita obrolin ini nanti, ya." Tangannya menepuk lengan New dua kali sebelum mengejar buah hatinya. "Purim!" Kejar Tay, langkahnya besar-besar.

New hanya bisa menghela napas berat, diarahkan kakinya menuju dapur, segelas air putih ia harap bisa menjernihkan pikirannya yang kalut.

*

Tay berdiri di depan pintu bercat putih dengan tulisan tangan 'Kamar Purim' yang menggantung dengan manis. "Purim," dua detik dan tak ada jawaban, Tay memutar kenop pintu itu pelan. "Purim," panggilnya sekali lagi, yang dipanggil sudah menenggelamkan tubuh di balik selimut— dengan terisak. Tay mendekat dan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. "Hi, boy," sapanya pada Purim.

Mendengar suara sang Ayah, Purim pelan-pelan memperlihatkan wajahnya, "Ayah," suaranya lemah dengan sisa tangis mengiringi.

Melihat kepala Purim yang dibebat serta memar di ujung bibir, Tay tak kuasa menahan satu bulir air mata yang berhasil mengalir tanpa aba, dia bersegera merengkuh Purim dalam dekapannya. "Sakit, nak?" tanyanya lembut, hatinya perih, seakan teriris, melihat anak yang disayanginya memiliki luka.

Purim menggeleng lemah, "Tadi yang ini sakit, Ayah, tapi sekarang udah enggak, kan, udah diobatin sama bu dokter," ujar Purim pelan sembari menunjuk perban yang menutup dahinya. Lima detik sunyi dalam dekap, Purim memberanikan diri bertanya, "Ayah, Papa marah, ya, sama Purim?"

Tay mengusak rambut Purim pelan, "Emm, Papa marah, tapi lebih karena khawatir, sayang," bimbang, Tay menjelaskan. Ia tahu New marah, tapi lebih yakin jika khawatirnya mendominasi.

Purim melepas dekapan Tay dan duduk bersila di samping Tay, "Tapi, kemarin di sekolah Papa marah ke Purim. Papa teriak 'kanapa harus berantem?' 'kenapa mukul Neo?' 'Harusnya di sekolah itu belajar, bukan berantem'" sambil mengusap ingus dengan punggung tangannya, Purim berusaha mengulang perkataan New. "Tadi Papa juga bilang kalau Purim nakal, Purim bukan anak baik lagi."

Tay tak kuasa menahan tawa saat melihat cara bicara Purim. Tay kembali menarik Purim ke dalam pelukan, mengelus belakang kepala Purim; sayang. "Kalau gitu, Ayah tanya sekarang, kenapa kamu mukul Neo?" ucap Tay hati-hati.

"Neo bilang, Ayah sama Papa aneh. Makannya Purim dorong si Neo itu!"

Tay makin mengeratkan pelukannya. Meski tidak membenarkan perbuatan anaknya, hatinya tahu bahwa Purim melakukan itu karena rasa sayang pada dirinya juga pada New.

"Padahal yang aneh, tu, Neo kan, Yah?" ujar Purim, mencari pembelaan, "Dia sukanya ganggu temen-temen, sukanya cari musuh. Yang lain gak berani aja bales. Purim pukul Neo juga karena dia bilang Purim anak haram karena Purim gak punya Mama."

C U K U P  (TayNew; Bukan Cerita Bersambung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang