5. Sparated

24 6 2
                                    

Hita tak sedetik pun mengalihkan tatapan dari hotplate di hadapannya. Jemari besarnya terus memotong-motong tenderloin, menjadi potongan kecil dan tipis, tanpa sekali pun menyuapnya. Mengabaikan wanita, partner makan malamnya canggung sendirian. Wanita yang 25 tahun lebih tua, tetapi kecantikannya masih mencuri perhatian. Seorang artis senior tanah air, sekaligus seorang ibu yang sedang diabaikan anaknya.

Nimaz Anggraeny. Ibu yang meninggalkannya delapan tahun lalu, demi bisa bersama orang yang disebut cinta pertama dan cinta matinya. Wanita yang membuat ayahnya gila kerja, dan gila wanita. Membuat delapan tahun hidupnya hambar dan masih terus berlanjut.

Hita mempelajari sikap egois dari kedua orang tuanya. Berkat itu, dia mampu mengendalikan keadaan dan kekuasaan untuk mencapai apa yang dia mau. Seperti orang tuanya, yang bertindak sesuka hati demi diri sendiri.

Jadi begitu caranya hidup, pikirnya kala itu. Abaikan orang lain. Fokus pada kepentingan sendiri. Jangan pikirkan perasaan orang. Hanya pikiran perasaanmu sendiri, kesenanganmu, keinginanmu.

Meski Hita enggan mengakui, tetapi hidupnya tetap terasa hambar. Semua kesenangan, kegembiraan, rasa puas hanya bisa dirasakan sekejap. Lalu dia akan mencari lagi kesenangan itu. Hambar. Cari lagi. Kosong. Cari lagi. Terus berputar dalam siklus sialan.

"Sayang, gimana sekolahnya? Lancar?" Nonya Nimaz berusaha membuka sesi ibu dan anak. Hita bungkam. Masih fokus memutilasi tenderloinnya. Nimaz menelan ludah canggung.

Menghela napas pelan, Nimaz melihat hasil karya anaknya. Dari tadi tak satu pun potongan itu melewati kerongkongan anaknya.

"Mau pesen yang lain? Biar Mama mintain menu lagi."

Aksinya gagal, begitu bunyi garpu dan pisau berdenting karena dihentak.

"Bisa stop basa-basinya? Langsung aja. Apa tujuan Mama panggil aku kemari?" ujar Hita dingin.

Nimaz merasa jantungnya diremat dan digurat pelan. Pedih. Menyakitkan.

"Ini bukan basa-basi. Mama cuma pengen makan malam sama anak Mama. Salah?"

"Ahh ...."  Hita mendayukan suaranya. "Ya udah. Telfon dong anaknya. Siapa tu, Mira? Mia? Apalah itu ...."

"Hita!!" bentak Nimaz. Untungnya mereka ada di private room yang kedap suara. Jadi tak menarik perhatian orang. Hita hanya menatap datar. Seperti sudah memprediksi bentakan itu. Dengan gerakan ringan, dia mengenakan jaketnya. Memanggul tas, dan berjalan santai ke arah pintu.

Nimaz mengusap wajahnya kasar.

"Mama, Om Rian, dan Medina akan ke Kanada." Ucapan itu menghentikan gerakan Hita memutar kenop. "Menetap. Dua minggu lagi."

Setelah hening yang terasa berjam-jam, seperti tombol pause terpencet, Hita membalik badan. Bersembunyi pada wajah dingin, dia berkata riang. Terlalu riang.

"Wow. Keren tuh. Jadi mau ngasih ucapan perpisahan. Perlu pesta perpisahan juga?"

"Ya Tuhan. Hita!" teriak Nimaz dengan suara parau. Sudah tak bisa ditahan lagi. "Mama mau kamu ikut. Kita bersama lagi. Mama pengen nebus semua kesalahan Mama. Mau ya Nak ...?" ratapnya. Nimaz berusaha berdiri, menjangkau anaknya. Namun langkahnya terhenti. Tatapan beku Hita mengiris hatinya.

"Ngga perlu kok. Selama ini aku baik-baik aja. Ada atau nggak ada Mama, aku oke." Lalu dengan dingin dan setajam katana, ditusukkannya serangan terakhir.

"Sampai mati aku nggak bisa liat Mama lagi, itu bukan masalah. Jadi ... pergi aja. Nggak perlu balik. Lupain kalau punya aku sebagai anak. Hidup bahagia dengan keluargamu, Nyonya Nimaz."

 Snowdrop Untuk KrisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang