6. Fortess, Snowdrop, and Coincidence

21 5 1
                                    

"Lan," panggil Krisan saat jam kosong.

Sebenarnya enggak kosong juga. Jadwal IS 1 harusnya Bahasa Inggris, tetapi karena Bu Lidia — guru bahasa Inggris — sedang berhalangan hadir, jadi hanya diberi tugas. Akibatnya, suasana kelas agak berisik sekarang.

"Hem?" gumam Lana sambil menulis jawaban.

"Tadi ... Pak Budiman minta gue buat nanyain ke elo, soal —"

"Nggak minat," potong Lana tanpa mengangkat kepala.

"Kan gue belum selesei!" sungut Krisan kesal.

"Soal lomba lukis, 'kan?"

Krisan memajukan bibir, lalu melipatnya. Ia mengangguk. Memang itu yang dipesan Pak Budiman. Dari sudut mata, Lana bisa melihat anggukan Krisan.

"Nah," kata Lana.

"Kenapa sih? Lo 'kan jago ...," Krisan mengeluarkan sejilid HVS sebesar buku tulis, lalu melanjutkan, "Nih!"

Itu ia jilid sendiri, lalu meminta Lana menggambar isinya. Buat bahan Krisan mewarnai saat butuh pengalihan. Jadi sekarang, ia tak perlu beli buku mewarnai.

Lana mengambil buku itu, lalu membukanya. Sebagian besar berisi gambar bunga dan karakter Disney. Ia membuka lembar yang masih kosong dan menarik pensil 2b. Mulai menarikan jemari di atas kertas putih.

"Lo tahu, gue udah sibuk sama olimp," ujar Lana.

Krisan menggigit bibir atas. Memang sih, olimpiade makin dekat, namun Krisan merasa Lana hanya berkilah. Ia tahu Lana sangat suka seni terutama melukis. Jadi sangat aneh,  jika dia menolak tawaran Pak Budiman. Apalagi Pak Budiman itu, guru seni rupa yang terkenal sangat selektif memilih kandidat untuk ikut lomba. 

Dalam diam Krisan mengamati Lana dan jemarinya. Dia masih saja terkagum-kagum dengan bakat cowok itu. Coba aja, gue yang punya itu bakat, pikir Krisan iri.

"Lan, lo tuh punya banyak kelebihan. Pinter di semua mapel, juga atletis," ucap Krisan tiba-tiba.

Mendengar pujian itu Lana sontak mengangkat kepala. Ia menatap Krisan beberapa saat. Menoleh ke kiri-kanan, lalu kembali menatap Krisan lekat. Memajukan wajah, meneleng, lalu mengusap dagu.

"Apa sih!?" sentak Krisan. Dia risih banget Lana melihatnya sampai nyureng gitu.

"Lagian elo. Badai juga kagak, tahu-tahu ngelempar pujian setinggi langit. Nih, sampai merinding dengernya." Lana menunjukkan lengan bawah, yang aslinya juga enggak ada bulu yang berdiri. Itu sikap berlebihannya saja.

"Rese deh. Gue belum selesei kali," kesal Krisan. "Emang, elo tuh keliatan serba bisa — kecuali buta nada lo ya —, tapi elo keliatan paling seneng waktu gambar. Jadi, kenapa elo nolak?"

Lana menghempas napas, menaikan alis, lalu memilih kembali ke gambarnya.

"Gue bakal jawab, kalau elo juga jawab pertanyaan gue," ujar Lana?

"Dan itu ...?"

"Nama elo Krisan, tapi bunga favorit lo malah Snowdrop. Kenapa?"

Krisan terdiam sesaat. Sama sekali tak menyangka itu pertanyaan Lana.

"Karena cantik," jawabannya kasual.

Lana yang masih berkutat pada gambarnya, berhenti sebentar. Kemudian jemarinya kembali bergerak.

"Gue rasa itu bukan jawaban elo sesungguhnya," cetus Lana.

"Maksudnya?" Krisan mengangkat sebelah alis.

Tanpa menjawab, Lana menggeser gambar yang masih berupa sketsa kasar. Mata Krisan mengikuti. Seketika ia terbelalak.

"Kenapa elo gambar ini? Gue udah bilang jangan gambar bunga ini di buku gue!" ketus Krisan spontan.

Isi gambar itu ada dua, snowdrop dan bunga krisan yang bersisihan. Cekatan Krisan mengambil penghapus lalu menggoreskannya pada bagian bunga krisan. Setelah yakin bersih, dia menatap Lana tak senang.

Lana sendiri sepertinya sudah bersiap dengan reaksi Krisan. Jadi ia masih berwajah lempeng.

"Nah, pertanyaan real-nya yaitu, kenapa elo nggak suka krisan tapi suka banget sama snowdrop? Kalau lo jawab itu, gue bakal jawab rasa penasaran lo, deal?" tawar Lana.

"Nggak!" sentak Krisan. Tiba-tiba saja mood-nya memburuk. "Gue nggak butuh kok, jawaban elo! Terserah lo mau ikut apa enggak. Gue nggak peduli. Lupain aja yang tadi!"

Napas Krisan sedikit berat karena perubahan emosi. Sedang Lana masih tampak biasa. Air mukanya tak berubah.

"Kei, lo sadar nggak kalau sedang ngebangun benteng. Lo nggak suka bergantung, nggak begitu peduli sama sekitar, nggak suka membaur, juga nggak ngebukak diri," ujar Lana tenang.

Mata Krisan menyipit. Ia tak menyangka pembicaraannya dengan Lana jadi berat begini. Lagipula apa maksudnya coba perkataan Lana barusan?

"Karena itu gue pikir kita mirip. Masing-masing kita punya hal yang tak ingin diusik orang lain," lanjut Lana.

"Kalau elo, sebegitu keberatannya, kenapa nggak terus terang aja? Ya, sori kalau gue terkesan kepo banget. Ngapain harus muter-muter coba?" tukas Krisan.

Butuh waktu untuk Lana kembali buka suara. Ia sempat mengalihkan tatapannya ke arah lain beberapa saat. Menarik napas dalam, lalu kembali menatap Krisan.

"Karna gue ... bakal buka benteng gue, asal elo, juga buka benteng lo," papar Lana.

Ekspresinya terlihat serius dan Krisan enggak suka. Itu adalah tatapan yang selalu Lana layangkan saat mengatakan sesuatu yang ambigu. Seperti saat cowok itu mengatakan, jika Krisan akan lebih senang dikasih selamat atas putusnya dengan Hita.  Atau, sewaktu Lana bertanya apa dia masih berhubungan dengan Hita. Tatapan yang seakan ingin menyelaminya.

"Lo aneh," cetus Krisan tak nyaman. Ia tak ingin meneruskan obrolan ini. Terlalu absurd. Bersamaan itu, bel tanda jam bahasa inggris selesai, berbunyi, yang juga tanda istirahat.

Krisan refleks bernapas lega. Segera ia bereskan bukunya, lalu mengumpulkan buku tugas ke Putra. Untuk saat ini, Krisan tak bisa berada di dekat Lana. Cowok itu suka aneh. Kadang begitu kocak, jahil, nyenengin, nenangin, tetapi jika sisi misteriusnya udah muncul, bikin enggak berkutik. Krisan tak suka sisi Lana satu itu.

"San, ke klub mading yuk!" Amy menepuk pundak Krisan.

Bagus, batin Krisan.

"Yuk," sambutannya antusias.

***

Krisan tak tahu apa yang salah dengan hari ini. Pertama, canggungnya atmosfer dengan Lana di sisa jam sekolah. Kedua, dia naik bus sendirian karena Anis ijin pulang lebih dulu. Tadi Anis hampir ambruk gara-gara first day, siklus bulanan. Ketiga, yang paling parah. Di dalam bus yang ia tumpangi, Krisan bertemu sosok yang enggak terbayangkan. Tebak siapa?

Hita. Ya. Benar, benar. Hita yang itu. Hita Pramudya Aksa.

Demi apa pun. Kenapa harus ketemu dengan Hita sekarang? Di sini, dalam bus pulangnya, dengan kondisi wajah memar dan bibir sobek. Oke, dia mengerti, jika kebetulan itu ada dan sudah jadi siklus takdir. Masalahnya, kenapa probabilitas macam itu harus terjadi sekarang?? pikir Krisan gedek.

Kalau saja mereka tidak bertatap muka dan hanya Krisan yang sadar, dia bisa berpura-pura enggak mengenal. Sayangnya, mata mereka terlanjur bersirobak. Hita menatap dengan datar. Membuat Krisan bingung harus bereaksi bagaimana. Mau cuek, takut melukai harga diri Hita yang selangit. Mau menyapa, takut juga. Karena Hita tampak berbeda dengan biasanya. Cowok itu hanya duduk termangu dengan tatapan sendu. Krisan tak tahu, apakah akan mengusik atau tidak, jika ia menyapa.

Akhirnya setelah berlama-lama membatu, Krisan mengangkat sebelah tangan. Melengkungkan senyum canggung. Entah nasib apa yang menunggunya setelah ini.

***
Bersambung

11 Februari 2021
Wild Chrysant

 Snowdrop Untuk KrisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang