4. Reason of the Bet

39 9 11
                                    

Krisan adalah tipe yang sebisa mungkin, menghindari masalah. Dia tak akan ambil pusing, apa pun kejadian di sekitarnya, selama tak memberi efek pada hidupnya. Di sekolah, dengan adanya orang seperti Hita and the gang, pasti ada beberapa orang yang menjadi korban keisengan mereka. Sebelumnya, Krisan selalu bisa bersikap abai dan tak peduli. Namun, suatu waktu, dia malah terpaku dan tidak mengalihkan pandangan dari Arka yang tengah di isengi Hita dan teman-temannya.

Di sana, gedung perpustakaan bagian belakang yang dapat dilihat dari ia berdiri sekarang. Arka dengan kostum ala OB, tengah bergelut dengan kaca besar, yang mungkin sampai salju turun di Jakarta tak akan pernah bersih. Karena Hita dan kroni-kroninya, secara rajin kembali mengotorinya. Mereka juga mengabadikan momen itu dalam video dan jepretan foto. Brytha, terlihat berungkali menggoreskan lipstik merah pekat di kaca yang dibersihkan Arka. Mereka menertawainya ramai-ramai.

Di antara orang-orang itu, Krisan menyadari keabsenan Bram. Dia jadi ingat adu mulut Bram dan Hita waktu lalu. Bram adalah teman sekelasnya sewaktu SMP, sama dengan Anis. Mereka tidak dekat, tapi memang pernah punya beberapa momen bersama. Bukan dalam hal romansa, lebih seperti interaksi tolong-menolong antar sesama. Mungkin, karena itu, Bram sedikit membelanya.

Kembali ke Arka. Cowok itu sebenarnya bukan tipe yang mudah menjadi target pembulian. Dia termasuk deretan anak terpandang di sekolah. Prestasinya juga bagus. Pernah menyumbang piala karya ilmiah, satu grup dengan Anis. Terlebih, ternyata Arka dan Hita itu sepupuan. Rumornya mereka memang tak akur, tapi tak pernah saling mencampuri urusan masing-masing.

Maka dari itu, masih menjadi misteri kenapa Arka sampai melakukan hal konyol atas nama taruhan yang berakhir dengan kekalahan. Juga, kenapa objeknya harus dirinya. Seingat Krisan, dia tak pernah punya masalah atau hal sekecil apa pun untuk bisa dikaitkan dengan permasalahan mereka. Bahkan, saat pernah sekelas dengan Arka di kelas sepuluh, mereka hampir tak pernah bicara.

****

Sepulang sekolah, Krisan mampir sebentar ke perpustakaan. Mencari buku referensi soal dan kisi-kisi yang biasanya muncul di olimpiade. Sekalian menghabiskan waktu, menunggu Anis yang sedang rapat PMR. Setelah menelusuri beberapa baris rak, dia menemukan buku itu ada di rak atas. Ia berjinjit berusaha menggapai.

"Ini ..." buku incarannya mendadak tersodor. Dari Arka.

Krisan membatu. Ia menatap sungkan pada buku di depannya. Dengan ragu, Krisan menggenggam buku itu.

"Maka—" Krisan mengernyit. Arka tak kunjung melepas bukunya, membuat ucapan terimakasihnya tersendat.

"Bisa bicara sebentar?"

Ah, ada udang di balik batu rupanya.

"Soal apa?" tanya Krisan berusaha tampak sepolos mungkin. Inginnya sih, bilang kalau lagi buru-buru. Namun, raut muka Arka, seolah menyiratkan jika permintaan untuk bicara itu harus terpenuhi.

"Kita bicara di tempat lain." Arka berbalik dan mulai berjalan.

Krisan menelan ludah gugup. Sembilan puluh persen, pasti ini berhubungan dengan taruhan itu. Arka sebagai pihak paling menderita, dan Krisan, secara tak langsung sebagai penyebabnya. Meskipun harusnya Krisan tidak bisa disalahkan sama sekali, tetapi dia tetap merasa takut dan cemas.

Tahu Krisan tak mengikutinya, Arka berdehem tak sabar. Krisan tersentak. Merapal bismillah dalam hati, serta meyakinkan diri jika all is well, dia mengangguk dan mulai berjalan.
——
Arka memilih tempat yang bagus untuk bicara secara private. Belakangan gedung multimedia yang agak jauh dari lalu lalang.  Semenit berlalu, hanya untuk mendapat sorotan mata dingin.

 Snowdrop Untuk KrisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang