7. Hita and His Scar

22 5 1
                                    

Hita hanya menanggapi sapaan Krisan dengan tatapan datar, lalu menggeser duduknya ke dekat jendela. Ia menatap Krisan lalu bangku kosong di sebelahnya. Tanpa kata menawari — karena ini Hita, mungkin lebih tepatnya menyuruh — Krisan untuk menempatinya. Krisan  tak punya pilihan selain mengikuti isyarat itu.

Krisan mengamati sekitar. Mendesah lega karena anak Bakti Nusa hanya mereka. Dia memang tinggal lebih lama di sekolah, karena menyelesaikan artikel mading untuk minggu ini.
Dari ekor mata, ia melirik Hita. Melihat betapa kacaunya cowok itu. Bajunya bukan seragam, melainkan kaos dan kemeja tak terkancing. Juga celana levis coklat. Krisan punya asumsi cowok itu membolos dan terlibat perkelahian, mungkin.

Ia menyorot luka di wajah Hita. Mata yang lebam dan merah, juga bibir bengkak berdarah. Tanpa sadar, tatapan Krisan menyendu. Ia pernah melihat luka semacam itu. Di wajah orang lain. Ibunya, istri tetangganya, pernah juga di wajah ibu penjual sayur di samping kios ibunya. Semua punya satu penyebab yang sama. Laki-laki.

Melihat Hita yang juga seorang laki-laki terluka seperti ini, membuat Krisan bertanya-tanya. Apa kadar sakit itu sama? Apa kalau pria yang terluka, mereka punya daya tahan yang berbeda?

"Kenapa?" lirih Hita heran.

Krisan tersentak kecil. Seketika mata mereka beradu. Namun, ia kembali fokus pada lebam di samping mata yang mulai membiru.

"Kamu ... kenapa?" balik Krisan ikutan lirih.

Melihat tatapan Krisan, Hita menyentuh lukanya. Ia tahu sedari tadi Krisan hal itu dengan iba.

"Nggak papa kok. Cuman berantem bentar."

"Enggak sakit?"

Kening Hita mengkerut. Ia heran dengan pertanyaan Krisan. Namanya luka, pasti sakit lah.

"Udah biasa," sahutnya sambil mengangkat bahu.

"Oh." Hanya itu komentar Krisan. Menit-menit diisi hening. Krisan tak ingin mengorek lebih jauh. Ia takut kejadian dengan Lana terulang. Apalagi ini Hita. Orang yang seperti menyimpan bom waktu. Tak terprediksi, apa yang bakal menjadi trigger. Meski sebenarnya, ada beberapa pertanyaan di kepala. Seperti, kenapa seorang Hita bisa naik bus?

Bus berhenti dan menaikkan beberapa penumpang. Krisan melihat ada seorang ibu hamil. Saat mengamati sekeliling, ia sadar tak ada kursi kosong. Ibu itu mendekat, Krisan langsung berdiri dan menawarkan kursi.

"Makasih dek," kata si ibu.

"Iya, Bu. Saya sudah mau turun kok," balas Krisan.

Memang jarak pemberhentian Krisan tinggal beberapa menit lagi. Ia berniat mendekat ke pintu keluar. Sebelumnya ia menyempatkan diri berpamitan dengan Hita.

"Hit, duluan ya," katanya sambil mengangguk sekali. Ia melangkah tanpa melihat respon Hita.

"Depan, kiri, Bang," ucap Krisan memberitahu kondektur.
Tak lama bus berhenti. Krisan melangkah turun. Ia harus berjalan beberapa blok untuk sampai di rumahnya.

"Kei!" Sebuah suara memanggilnya.
Krisan berbalik. Ia cengo, menemukan Hita ikut turun di pemberhentiannya.

"Hita?" tanyanya bingung.

Hita berdiri beberapa langkah di belakang. Menyingkap lengan kemeja, memperlihatkan luka gores memanjang dari siku ke bawah.

"Bisa obatin luka aku?"

"Hah?"

"Sama, bisa pinjam HP?"

"Haah??"

~~~

 Snowdrop Untuk KrisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang