Bab 4

203 49 9
                                    

Derap langkah beberapa orang terdengar samar yang tengah menyusuri koridor panjang rumah sakit tempat sahabat Ji Chong bekerja. Beberapa suster maupun dokter tampak sibuk dengan tugas yang memang sudah menjadi tanggung jawab mereka.

Raut muka serius beberapa dokter serta pasien dengan berbagai keluhan sudah menjadi pemandangan yang biasa. Sangat dibutuhkan kesabaran ekstra agar terbentuk suasana yang nyaman dan tidak terjadi kesalahan dalam penerapan ilmu pengobatan yang tengah mereka---dokter beserta perawat---lakukan.

Sepeti yang tengah dialami Xie Yun sekarang. Ia harus ekstra sabar menghadapi seorang pasien jadi-jadian yang dengan tidak tahu malunya tengah sengaja mengikuti dirinya seperti anak anjing. Bergelayut manja, membuat keributan sana sini serta bertingkah tidak keruan.

Sifat Ji Chong yang tidak tahu tempat sepertinya sudah berakar nyaris sulit dihilangkan. Melupakan fakta bahwa dirinya sedang tidak berada di rumahnya sendiri. Beberapa pasang mata yang melihat hanya mampu menggelengkan kepala bahkan menepuk jidat pertanda frustrasi.

"Aiya, masih marah dengan ku?" Ji Chong berjalan sembari bergelayut manja di lengan Xie Yun.

"Berisik! Ini rumah sakit, bukan pasar!" Xie Yun melotot ke arah Ji Chong sembari mencubit pinggang pemuda manis yang terus saja mengikuti langkahnya seperti seorang anak mengikuti ibunya.

"Ish, aku bosan. Aku harus apa jika tidak mengkutimu?" Bibir Ji Chong merengut, kedua tangan menyilang di depan dada.

Xie Yun yang menyaksikan menggeleng, mengelus kepala Ji Chong dan berujar setelahnya, "Kamu bisa berbincang bersama ayah." Xie Yun tersenyum, mengembuskan napas lelah, dan membawa pemuda itu ke dalam pelukannya.

"Pasienku sedang membutuhkan aku sekarang. Jadi, mengertilah. Oke?" Xie Yun memohon, melonggarkan pelukan, lalu memainkan rambut panjang Ji Chong dengan bolpoin yang ia pegang. Hingga sebuah tepukan di tangan membuat Xie Yun meringis.

"Ish, nanti rambutku rusak." Ji Chong meninggalkan Xie Yun dengan langkah cepat sembari menjulurkan lidah, memberi ekspresi mengejek.

Seulas senyum terlihat walaupun samar. Membawa rasa hangat meskipun hanya sekilas. Hubungan yang belum terbentuk kian tampak, menerobos pagar kokoh tanpa mampu mereka perkiraan pergerakannya.

*****

Langit sewarna arang tengah berkuasa. Menggantikan lajunya pagi beserta siang yang tampak redup karena pekatnya hawa dingin dengan sedikit kabut. Butiran seputih kapas telah berhenti, menyisakan lapisan beku yang luas di berbagai sudut.

"Apakah dia tidak pulang lagi, malam ini?" Tuan Ji menyesap kopi hangat yang masih mengepul sembari menghadap perapian.

"Dia, memiliki nama!" Ibu Ji Chong menjawab tegas. Meletakkan dua jarum rajut yang tergulung benang di meja, melepas kaca mata sembari mengusap air mata yang perlahan turun.

"Tidak cukupkah hanya dengan membenciku? A-Chong akan tetap menjadi putramu meskipun kamu membawa kebencian seluas lautan untuknya!" Jemari Ibu Ji Chong mengepal kuat.

"A-Yui, aku tidak pernah membencimu. Hanya saja---" Tuan Ji beranjak dari duduk setelah meletakkan cangkir kosong, melepas sweter yang ia kenakan dan mengalungkan di bahu sempit istri mudanya.

"Tidak bisakah kamu memahami apa yang ada di benakku setelah bertahun-tahun kita mencoba untuk hidup bersama, A-Yui?" Tuan Ji masih berdiri dengan angkuh, menoleh pun tidak sama sekali.

"A-Chong putra anda satu-satunya. Perlakukan dia secara layak atau anda akan benar-benar kehilangan dia suatu hari nanti." Nyonya Ji berdiri dengan tergesa. Dalam pikirannya hanya ingin menjauh dari suaminya yang lagi-lagi tidak memahami ucapannya.

Perapian di ruangan itu masih menyala. Namun, tidak bisa menyalurkan kehangatan sama sekali. Rumah besar dengan fasilitas mewah serta pemanas ruangan yang tersedia, tidak juga memberi perubahan yang berarti.

******

Dua puluh delapan hari menuju batas waktu. Waktu melesat begitu cepat hingga tanpa sadar sudah berada di hari ke dua setelah perjanjian itu dibuat. Belum terlihat perubahan yang berarti di antara kedua pemuda tampan yang tengah meringkuk di pembaringan hangat dengan selimut tebal. Masih bertahan dengan keusilan dan saling menggoda satu sama lain.

Waktu menunjuk pukul enam pagi. Kicau burung pipit terdengar samar. Memecah pagi dengan sejuta rasa yang sangat membekukan. Orang-orang dengan aktivitas berbeda berlalu-lalang di sepanjang trotoar, mengabaikan ketukan-ketukan angin yang berusaha menembus kulit.

Kamar luas dengan ranjang berukuran besar tengah setia memberi kehangatan untuk dua insan anak Adam yang berpelukan. Napas teratur, lengan yang bertaut, dan jangan lupakan posisi kaki yang saling menindih.

Pemuda manis dengan rambut panjang terurai berantakan tampak menggeliat tidak nyaman. Mencoba melepas pelukan pemuda tampan yang seolah mengikat pinggang rampingnya dengan tangan.

"Xie Yun," Ji Chong mencoba mendorong tubuh Xie Yun menjauh. Namun, perbedaan bentuk tubuh yang mereka miliki membuat Ji Chong kesulitan walaupun sekadar menggeser tubuh pemuda yang tengah memeluknya.

"Ini masih pagi. Bangun nanti saja, A-Chong." Xie Yun mengeratkan pelukan di tubuh Ji Chong sembari berucap dengan nada serak khas orang bangun tidur. Ji Chong kesal. Kebiasaan memeluk tubuhnya ketika tidur satu ranjang tidak pernah berubah bahkan semakin menjadi.

"Hei, menyingkir dari tubuhku! Kamu menindih rambutku!" Kaki Ji Chong menendang-nendang. Namun, Xie Yun bergeming seolah tidak merasakan rasa sakit sama sekali.

"Diam atau aku akan benar-benar menindihmu!" Netra Xie Yun terbuka perlahan. Ji Chong memilih diam karena tidak ingin menjadi sasaran olah raga pagi sahabatnya hingga tiba-tiba sebuah benda tumpul yang sedikit mengeras menyentuh pahanya. Netra Ji Chong membola. Tatapan mesum serta pergerakan tangan Xie Yun yang mengelus punggungnya perlahan, membuat Ji Chong merinding.

"Dasar mesum! Selesaikan urusanmu di kamar mandi!" Sebuah pukulan mendarat di dada Xie Yun. Ji Chong beranjak dari kasur dan menuju pintu. Ia keluar dengan ekspresi wajah merengut hingga kedua pipinya menggembung.

Xie Yun terbahak hingga memukul selimut sembari memegangi perut. Ia tertawa sampai air matanya keluar. Niatnya yang hanya ingin mengerjai Ji Chong malah berakhir mendapat tanda cinta yang tentu saja lumayan keras.

"Hais, Serigalaku yang barbar. Untung aku Singa," ucapnya bangga.

*****

Tiga pelayan wanita tampak sibuk dengan bahan mentah yang akan mereka olah. Mulai dari membuat bumbu, memotong sayur hingga mengolah daging untuk disajikan sebagai menu sarapan.

Ji Chong sedang asik melihat tv sembari memakan apel merah. Kedua kaki bersila dengan tangan memeluk bantal. Kemeja kebesaran yang ia pergunakan untuk tidur semalam, belum ia ganti. Rambutnya pun ia ikat secara asal.

"Lain kali, ikat rambutmu dengan benar." Jemari kokoh milik Xie Yun dengan telaten merapikan ikatan rambut Ji Chong yang sangat tidak beraturan. Menyisir secara perlahan dan memberi ikatan yang kencang. Beberapa helai, Xie Yun biarkan tergerai karena terlihat manis dan sangat pas di wajah sahabatnya.

"Apa aku terlihat tampan, sekarang?" Ji Chong menengadah, melihat Xie Yun yang berdiri di belakang dengan kepala menunduk. Seulas senyum menjadi ucapan selamat pagi untuk pemuda manis itu hingga tanpa ia sadari bibirnya melakukan hal yang sama.

Sepersekian detik waktu seolah berhenti. Membekukan masa agar tidak lagi bergerak. Detak jantung perlahan menjadi cepat hingga seolah hendak melompat keluar. Entah siapa yang memulai di antara keduanya, sebuah isapan halus dua bibir yang saling bertemu membuat dua pemuda berparas rupawan itu terlena.

TBC.

Ujung Perjalanan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang