Part 2.Ketakutan Rani

29 0 0
                                    

Terjerat Hasrat
Part 2
( Ch. Maria)

Pov. Rani.

Sesampai di rumah aku langsung mandi keramas. Kubersihkan seluruh badanku,organ intimku. Tak ingin bekas Anto tertinggal di dalam tubuhku. Aku takut, aku menyesal, semua diluar kendali kesadaranku. Aku betul-betul kilaf dan terlena.
Setelahnya aku masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Merenung dan menyesali kebodohanku.
Bagaimana kalau nanti aku hamil? Waduh, takut, bingung dan malu.

"Tok, tok, Rani, Ran,"pintu kamar diketuk Mbak Lusi.

"Iya, Mbak,"jawabku sambil membuka pintu dan keluar kamar lalu duduk di depan.

"Jam segini baru pulang, sudah makan belum?" tanyanya sambil menggendong Ado anaknya yang berumur tiga tahun yang sudah terlelap dalam gendongan.

Mbak Lusi merupakan anak nomer satu, kami dua bersaudara. Sejak ibuku meninggal dan bapak yang sakit-sakitan membuat kami hidup berkumpul dalam satu rumah.
Mbak Lusi dengan suami dan anaknya tinggal di lantai dua, sementara aku dan bapak di lantai satu.  Rumah kami tidak besar tapi cukup untuk menampung dua keluarga. Masak selalu jadi satu. Mbak Lusi yang masak. Karena setelah ibu meninggal, kebutuhan dapur, masak dan lain-lain diambil alih oleh mbak Lusi dan suaminya.

Aku beruntung mempunyai mereka yang perhatian pada bapak dan kepadaku sebagai adiknya.

"Sudah, Mbak, tadi sudah makan dengan Anto," jawabku tenang.

"Coba kamu tanyain Anto, punya surat cerai tidak, jangan hanya bilang duda tapi tidak bisa menunjukkan surat cerainya, Ran," lanjut Mbak Lusi menasehati aku.

"Bukan apa-apa kalau kamu mau nekat dengan Anto asal ada surat cerai, bisa segera menikah,"ujar Mbak Lusi lagi.

"Iya Mbak, besok aku tanyakan ke Anto,"jawabku sambil masuk menuju kamar.

Sampai kamar aku termenung kembali.
Duh, bodohnya aku. Bagaimana kalau aku besok nanya-nanya detail tentang status dudanya. Marah gak ya, dia? Terus bagaimana kalau aku hamil?
Ah, semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan
Ampuni aku ya Allah.
Aku segera ambil air wudhu untuk sholat malam dan segera tidur, agar tidak memikirkan aneh-aneh yang mengganggu tidurku.

****

Satu minggu sejak peristiwa itu, Anto tak terlihat batang hidungnya. Ke mana orang itu? Apakah menghindar?
Aku coba hubungi ponselnya namun tidak aktif.
Ini hari Sabtu, aku coba telepon lagi.

"Halo, Mas, kok tidak pernah kelihatan, ada apa?" tanyaku begitu nyambung. Mumpung nyambung tanpa basa-basi aku ke inti masalah saja.

"HP rusak, Ran, jatuh dan pecah," katanya dengan nada kecewa.

"Ini jadinya beli HP lagi. Aku belum bisa mengembalikan uang pinjamanku, ya.
Maaf, gajian jadinya mepet uangku,"tambahnya lagi.

"Oh, ya sudah, gak papa Mas, yang penting sekarang sudah punya HP lagi, kita ketemuan ya, sepulang kerja," ujarku.

"Ya, seperti biasa kamu di ujung pintu gerbang belakang,"janji Anto.

Aku senang ternyata Anto bukan menghindar tapi tidak ada ponsel buat janjian.
Aku sudah menduga yang bukan-bukan padanya.

*****
"Mas, kita mau makan di mana?" tanyaku ketika aku ketemu di pintu gerbang.

"Yang dekat saja, kalau biasanya di ayam penyet sana, sekarang di sebelah sana saja, ganti menu nasi goreng, aku yang traktir deh," ujar Anto, yang membuatku senang.
Aku berdua dengan Anto menuju tempat nasi goreng yang terkenal enak dan murah, walau agak jauh dari kantor.

"Mas, boleh Rani tanya?" Aku memberanikan diri bertanya sesuai pesan mbak Lusi.

"Apakah betul Mas sudah cerai dengan istri, Mas?"ujar ku takut.

"Kenapa kamu tanya seperti itu, bukannya kamu lihat sendiri aku hidup sendiri di sini?" jawab Anto sedikit geram.

"Bukan begitu, Mas, maaf keluargaku menanyakan surat cerainya, Mas.
Karena kalau sudah ada surat-surat yang menunjukkan sudah cerai dan status dudanya, kita bisa segera menikah," tambahku jujur.
Dan itu membuat Anto tersedak, kaget.

"Huk, uhuk." Dan aku segera memberikan air putih yang  dari teko. Karena minuman pesanannya masih sangat panas.

"Ran, aku memang belum menunjukkan surat cerai, tetapi aku sudah pisah ranjang. Karena dia selalu menolak kuajak cerai, karena alasan anak masih kecil. Aku sudah menalak dia," terang Anto.

Aku diam saja, namun sebetulnya aku tidak mengerti proses cerai itu seperti apa.
Maka lebih baik diam, dari pada Anto malah marah lagi. Aku percaya Anto tidak berbohong.
Aku juga melirik HP Anto yang baru, berarti benar, selama ini HP Anto bener rusak, ketika tidak pernah menghubunginya.

"Ran, maafkan aku, ya.
Aku belum bisa membayar pinjamanku, tapi malah sekarang aku mau butuh pinjam lagi, tiga ratus ribu saja, motorku ngadat terus, mumpung hari Minggu, besok mau servis.
Takut pasti habisnya banyak, biar buat jaga-jaga," kata Anto penuh harap.

Aku tidak tega, lalu memberikan uang ratusan tiga padanya.
Anto tersenyum menerima uang dariku.

"Terima kasih, ya Ran. Nasi goreng aku yang bayar saja," katanya sambil  mengeluarkan dompet untuk memasukkan tiga lembar ratusan merah itu.

"Ah, uangmu lagi mepet kok, Mas, sudah biar aku saja, nasi goreng kan murah," tambahku

"Jangan Ran, pamali, sudah terlanjur janji." Anto  mengeluarkan uang kertas biru dan masih kembali sepuluh ribu.
Berdua mereka pulang.

"Ran, langsung pulang saja, ya, meski ini malam minggu, takut motor ngadat di jalan kan repot, cantik- cantik masak dorong motor," gombal Anto yang selangit.

"Iya, Mas, Rani ngerti, kok."

Tak nyampai lima belas menit motor sampai rumah. Kemudian Anto pamit dan aku masuk rumah.
Sempat suami Mbak Lusi yaitu Mas Budi melihat kami berdua ngobrol, dan memandangi Anto. Seperti pernah melihat, tapi di mana ya? Dan mungkin juga sudah diceritain mbak Lusi bahwa Anto itu pacarku

"Assalamualaikum." Aku masuk kebetulan rumah komplit, ada bapak, mbak Lusi, dan mas Budi.
Tumben ada apa ini, masih sore mereka sudah ngumpul, batinku.

"Wa'alaikumsalam, tumben sudah pulang,"jawab Mbak Lusi sambil menyuapi Ado.

"Iya, motor Mas Anto lagi ngadat, jadi tidak pergi malam mingguan,"gurauku biar tidak terlihat tegang.

Aku bergegas masuk kamar, kemudian menyiapkan baju ganti, kepingin langsung mandi.
Tak berapa lama aku sudah ikut duduk ngobrol bersama.

"Ran, Bapak mau tanya, apa benar kamu sudah punya calon?" tanya bapak tiba-tiba.

"Calon apa, ya Pak,"jawabku sambil bercanda.

"Ya, calon suami lah,"ujar Bapak sambil tertawa.

"Teman dekat, Pak, belum calon suami,"jawabku.

"Ya, kalau nyari calon suami itu yang benar, dicari informasinya dulu, rumah di mana, anaknya siapa, sudah pernah punya istri atau belum. Itu penting biar kita tidak tertipu,"ujar Bapak panjang lebar dan itu membuat aku tersinggung dan malu.

Pikiranku jadi mengembara.
Mengapa bapak sampai ikut bicara tentang Anto, ya? Aduh, bagaimana kalau bapak sampai tau Anto duda, dan belum punya surat cerai. Habis sudah riwayat percintaanku.
Terus bagaimana dengan nasib perutku?
Kutunggu nasibku bulan ini.
Semoga aku tidak terlambat datang bulan.
Semoga aku tidak hamil. Aku mulai resah dan takut.

Konyol memang hidupku. Aku telah salah langkah.
Ya Allah, ampuni dosaku.
Bapak, maafkan Rani
Rani menangis dalam hati.

Bersambung.
Dukung ya, subscribe dan follow.

Terjerat HasratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang