• ━━━━━━━━ Ide chapter ini muncul dari seseorang yang saya kenal mungkin sudah hampir memasuki setengah tahun. Kalau bunda baca ini, tomat sayang kamu.
Tetapi akhir cerita yang saya gunakan berbeda dengan ketikan awalnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
S t a y H e r e
“tetaplah disini, bersamaku.”
↓
Langit-langit dan tembok dinding nercat putih dari kamar rumah sakit ini sudah menjadi pemandangan yang tidak asing di mata Akagi dan kekasihnya.
Ruang VIP tapi memiliki aroma obat yang sangat kuat.
Semakin hari tubuh pasien yang kurus itu semakin parah saja kondisinya.
Tiap malam tiba, dirinya kehilangan selalu kehilangan kendali. Jari-jemarinya bergerak mengambil benda tajam yang ia sembunyikan diruangan ini lalu melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.
Tangan yang penuh perban, leher yang memerah, mata yang sayu bahkan terkesan mati sudah menjadi pemandangan yang Akagi lihat setiap harinya.
Rambutnya makin berantakan, senyumnya sudah menghilang ditelan depresi.
"Lagi?" tanya Akagi cemas.
Perban baru yang baru saja Akagi beli dari apotek rumah sakit ini sudah siap untuk menggantikan pekerjaan perban lama yang berada di tangan sang kekasih.
Dengan sangat berhati-hati Akagi melepas perban itu. Hatinya terasa teriris seperti tangan sang gadis, benar-benar menyakiti hatinya.
Sudah berkali-kali Akagi mencoba menghentikan tindakan kekasihnya ini, tapi hasilnya nihil.
Perban bersih dan baru itu sudah selesai ia pasang, langsung saja ia membereskan perban lama yang sudah diganti tadi lalu membuangnya jauh-jauh.
"Bagaimana dengan obat mu?" Akagi yang sedang sibuk mengolesi selai diatas roti tawar itu akhirnya membuka suara.
Hening, kekasihnya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam diatas kasur sambil menutupi diri dengan selimut.
Hal yang sudah biasa Akagi lewati setiap harinya, meski begitu ia tetap mau meluangkan waktu berharganya untuk menjaga kekasihnya ini dirumah sakit.
Waktunya selama 6 jam perhari ia sisihkan untuk berdiam didalam ruangan bau obat ini sambil bekerja menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.
Keluarga kekasihnya hanya datang pada pagi dan malam hari karena padatnya pekerjaan, mereka jugalah yang meminta tolong kepada Akagi untuk menjaga anak terkasih mereka ini di rumah sakit.
Tapi hari ini begitu berat cobaannya, belum lama Akagi meninggalkan ruangan itu hanya untuk keluar membeli beberapa camilan. Kekasihnya sudah mulai menangis dan mengatai dirinya sendiri.
"Hei kau tak apa?" tanya Akagi cemas setelah mendengar teriakan dari kamar ini.
"Maaf, maafkan aku. Seharusnya kau meninggalkan ku saja agar kau tak kerepotan seperti ini," ucap kekasihnya, menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya lalu menangis.
Akagi menaruh barang belanjaannya tadi di atas meja samping kasur pasien, lalu membawa tubuh gadis kecil itu kedalam sebuah pelukan.
Mengelus surai sang gadis lembut, mencoba menenangkannya. "Kenapa minta maaf? aku tidak akan kemana-mana. Aku tidak akan pergi meninggalkan mu."
⊱⋅ ──────────── ⋅⊰ S t a y H e r e ⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
Keesokan harinya, tepat saat Akagi menginjakkan kaki diruangan ini. Kabar buruk datang menyambar dirinya.
"Semalam gadis itu berteriak. Saat kami tiba, perban yang membungkus tangannya sudah dilepas lalu tangannya mengeluarkan banyak darah. Hal yang sama pada kakinya juga, rambutnya pun di gunting secara kasar," jelas dokter kepada Akagi.
Lalu dokter melanjutkan perkataannya. "Maaf kami datang terlambat dan gagal menyelamatkannya. Kau sudah merawatnya dengan baik." Sang dokter pun pergi, tapi sebelum itu ia menepuk pundak Akagi pelan.
Akagi terdiam, memasuki kamar dengan langkah yang tidak teratur dan menuju ke arah kasur.
Kakinya terasa lemas, sebagian tubuhnya jatuh ke atas kasur.
Tenggorokannya terasa kering dan aneh, teriakannya tertahan.
Air matanya berjatuhan, tak kuasa dirinya menahan perasaan sakit ini.