Karena saat bersama mu, aku merasa menjadi lebih baik.
━━━━━━━━━ •
⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
E n n o s h i t a C h i k a r a
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terbalaskan
“Tidak ku sangka, perasaan ini akan terbalaskan.”
↓
Kondisi cuaca yang pas, tempat yang nyaman, berdua bersama sang penjaga hati.
Ennoshita menghabiskan waktu istirahat miliknya untuk mengajari [name] dalam pelajaran matematika.
Hanya rumus dasar sebagai awalan, jika [name] sudah paham dengan rumus-rumusnya Ennoshita dapat memastikan bab-bab berikutnya tidak akan terlalu sulit lagi bagi [name].
Kenyataannya dia salah, meskipun rumus dasar dapat dilewati namun ketika memasuki bab selanjutnya [name] mengalami kesulitan untuk memahami materinya.
"Lalu dari mana angka empat ini berasal?" tanya [name] dengan raut wajah kebingungan.
Ennoshita menghela napas. "Oke begini, angka empat ini berasal dari angka dua pangkat dua."
[Name] mengangguk, lalu kembali bertanya. "Lalu bagaiamana dengan angka enam ini?"
"Delapan belas ini dibagi dengan tiga," jawab Ennoshita.
[Name] kembali bertanya. "Kenapa hasil akhirnya empat koma lima?"
"Itu karena angka delapan belas tadi dibagi dengan angka empat."
Karena merasa sudah paham [name] pun mengangguk paham kepada Ennoshita. "Oke terima kasih untuk ajarannya. Nah sekarang ayo makan bekal!"
Ennoshita tersenyum tipis, kemudian tubuhnya bergerak untuk menyingkirkan buku soal latihan tadi.
Mengambil kotak bekal yang berada di sampingnya, lalu duduk bersampingan dengan [name]. Ennoshita tetap membuat sebuah jarak agar tidak terlalu berdekatan.
Dengan senang hati [name] membuka kotak bekal miliknya, sederhana saja karena dirinya terlalu malas untuk menyiapkan bekal sendiri di pagi hari.
Hanya roti tawar yang di olesi selai, susu kotak pun ia beli dari kantin sebelum datang ke atap sekolah ini.
Suasananya tenang, keduanya fokus menghabiskan mereka masing-masing. Meski begitu tetap ada sedikit percakapan ringan di sela-sela makan mereka.
"Hmmm...begini, sebenarnya dua hari yang lalu aku mendapat pernyataan suka dari seseorang...." [Name] menjatuhkan pandangannya ke arah kotak bekal yang ia pegang.
"Aku bingung, apakah aku harus menerimanya atau tidak...dia baik dan juga ramah...."
Ennoshita mengalihkan pandangannya untuk sesaat, hatinya gusar karena sejujurnya ia kurang suka dengan alur pembicaraan ini.
Tepat 1 tahun dirinya memendam rasa kepada temannya ini, yaitu [name]. Mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaan saja ia gagal dan sekarang ia mendengar kabar bahwa [name] telah mendapat sebuah pernyataan suka.
Ennoshita berdehem pelan. "Kalau kau ragu dengan jawaban mu, saranku kau menolaknya saja. Jika kau sudah yakin, maka terimalah dirinya."
[Name] diam sejenak sebelum kembali menjawab. "Sepertinya...aku akan menolaknya. Akan ku temui dia pada sore hari nanti."
"Begitu ya? oke, semoga lancar." Ennoshita menutup kotak bekal miliknya, membereskan barang yang ia bawa kemari.
"Eh sudah mau kembali?" [Name] kaget melihat Ennoshita yang sudah bersiap-siap.
"Tidak, hanya merapikan saja. Jika masih ada yang ingin kau ceritakan silahkan saja."
"Begini...sebenarnya aku menyukai seseorang...."
Ah, Ennoshita sepertinya harus mempersiapkan hati. Ini alur pembicaraan yang lebih menegangkan dibandingkan dengan tadi.
"Oh benarkah? siapa?"
"Dia baik, kelasnya berada tepat disamping kelasku, orangnya ramah dan tidak muluk-muluk."
"Begitu ya, sepertinya dia orang yang baik." Bohong kalau Ennoshita tidak merasa sakit hati.
[Name] menutup kotak bekal miliknya dan berdiri dari duduknya. "Namanya Ennoshita Chikara, kau benar dia orangnya baik. Jadi apa kau mau menerima perasaan ku?"
Ennoshita diam mematung, otaknya sedang memproses apa saja yang baru saja terjadi. Setelah sadar, kedua pipinya menimbulkan rona merah.
"Kau serius?" tanya Ennoshita guna memastikan.
[Name] menaikkan salah satu alisnya. "Untuk apa aku bercanda?"
"Kalau aku menjawab iya...?"
"Kalau begitu hari ini kita resmi. Hahaha, oke selamat tinggal." Setelah itu, dengan cepat [name] melesat kabur meninggalkan Ennoshita.
Ennoshita yang masih tidak percaya dengan perkataan [name] langsung menampar pipinya sendiri.