» special chapter [1]
"Kak."
"Hm?"
"Peluk."
Asahi melirik singkat dengan kedua netranya kembali fokus pada layar tv dengan lengan kiri terangkat merengkuh tubuh sang adik.
Giselle bersandar nyaman di dada bidang si kakak sembari memainkan jemari tangan Asahi yang satunya di atas perut pria itu.
"Manja sekali." Giselle memukul pelan perut Asahi, "Diam." Asahi tidak bereaksi dan malah mengusak surai coklat terang gadis itu.
"Aku mau nanya." interupsi Giselle.
"Apa?"
"Menurut kakak, Winter cantik tidak?"
Asahi memutar bola matanya malas, "Random sekali pertanyaanmu." Asahi malas menjawab dan kembali fokus menonton.
"Ditanya benar-benar, ih!" kesal Giselle pada si kakak, Asahi menghela napas panjang tidak tahu tujuan Giselle mengatakan hal itu padanya.
"Harus jawab?"
Giselle mengangguk semangat dan bangkit untuk duduk bersila, ia mengigit bibir bawahnya nampak berpikir dan kemudian polos menjawab.
"Cantik. Karena dia seorang perempuan."
Giselle terdiam, shock. Jawaban yang sama sekali tidak berguna.
"Aku tahu itu kakakku sayang, tapi tidak ada alasan lain begitu? Astaga." frustasi di tiap intonasinya, Asahi terkekeh kecil dibuatnya.
Menurutnya dia tidak melakukan kesalahan sama sekali untuk mengatakan demikian.
Karena,
"Kau tahu? Semua perempuan itu cantik, tergantung bagaimana kita mengenalnya demikian. Aku mengatakan cantik untuknya, karena itu muncul di hatinya. Banyak awam lebih mudah diperdaya paras dibanding hati. Namun, aku menilai gadis itu cantik dalam keduanya karena hatinya lebih dulu bukan dari parasnya."
Giselle termangu, jawaban terbaik sepanjang masa yang diterimanya dari mulut Asahi selama ia hidup. Kedewasaan yang selalu di tutupi dengan paras datar dan dingin, hangatnya seorang Asahi terasa begitu jelas sekarang untuknya.
"Kak, aku mau mati saking terkejutnya kamu berbicara begitu." Asahi gemas menoyor dahi sang adik, kebiasaannya.
"Malaikat lewat mengaminkan, tahu rasa kau."
"Bercanda, Tuhan." Asahi menggeleng pasrah, "Kakak kalau seperti ini setiap hari pasti banyak yang tidak takut mendekati. Wajah datarmu menakuti banyak orang soalnya."
"Sudah begini adanya, mau diapakan lagi. Penampilan itu bukan tolak ukur yang penting hatinya baik." memuji diri sendiri sebenarnya dan Giselle hanya mengangguk saja.
"Iya deh, tahu." Giselle kembali bersandar pada dada Asahi dan Asahi kembali melanjutkan apa yang ia tonton tetapi belum terlarut dalam fokusnya, Asahi berkata.
"Kenapa bertanya begitu padaku?"
"Boleh jujur, nih?"
Asahi menaikkan satu alis, tidak paham.
"Memang kenapa?"
"Aku suka kamu dengan Winter, hm—cocok? Tidak tahu kenapa, firasat."
Asahi menatap Giselle serius dengan iris tajamnya, percayalah. Asahi sedikit was-was.
"Kenapa bisa berkata begitu, bertemu saja baru sekali." katanya. Pertemuan kedua dengan gadis itu saja saat mereka tak sengaja bertemu dan ia yang memberi gadis itu tumpangan.
Asahi tak mengatakan apa pun pada Giselle perihal ini, karena jika ia membahasnya. Beribu pertanyaan akan terlontat untuknya. Ribet. Jadi dia mengurungkan niatnya.
"Bertemu itu awal. Semakin banyak kalian bertemu, entah itu kebetulan sekali pun. Kalian berdua akan merasakan permainan semesta yang tak terkira sebelumnya. Kalau—"
Asahi semakin bingung, Giselle menggantungkan kalimatnya.
“Kalau apa Hamada Giselle?"
Giselle mengedikkan bahunya kecil, tersenyum nakal di balik dadanya. "Kalau awal itu bisa menjadi akhir bahagia, berarti apa yang aku pikir akan terjadi kedepannya. Namun, jika tidak demikian maka aku salah menilai permainannya. Tinggal kakak saja yang menilai, akan seperti apa kedepannya."
Setelah mengatakannya, Giselle benar bangkit dan berdiri. Menyisakan Asahi yang menatap manik matanya sirat akan kebingungan.
"Jangan terlalu dpikirkan, kak. Sudah aku mau kembali ke kamar dulu. Lanjutkan nontonnya."
Giselle menghadiahkan satu ciuman hangat di pucuk kepala Asahi dan berlari kecil keluar kamar.
Asahi hampir saja kehilangan kendali mendengar Giselle—rasanya ingin berteriak saking tidak tahu alasannya. 15 menit berkutat dengan hatinya, ia mengusap keningnya sesekali, mencari jeda untuk berpikir.
Giselle di kamarnya sekarang menyengir lebar, sudah tahu jika sang kakak akan dihantui oleh kalimatnya tadi. Jujur, Giselle tidak berniat mengerjai Asahi karena ia refleks mengatakannya juga itu berasal dari hatinya sendiri untuk menyuarakan.
Dan Asahi tahu. Firasat. Seperti katanya.
"Giselle!" teriak Asahi dengan rusuh bangkit dari ranjangnya menuju ke kamar sang adik dan menemukan Giselle sedang sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa kak?" goda Giselle.
"Kemari kau." pasrahlah seorang Hamada Giselle karena sang kakak terus menerjangnya dengan glitikan-glitikan maut. Begitu juga ia yang masih bertahan walaupun air mata sudah mengalir karena terlalu banyak tertawa.
Ting!
winterbyeon
| pasti akan aku kabari
sama-sama, selamat malam
juga untukmu Giselle🌙
selesai.
Vote & Comment!
hai! aku membawa special chapter untuk kalian nikmati selagi menunggu menuntaskan chapter ke-4.
bangga karena tempo hari Treasure berhasil borong dua piala di MAMA dan gapernah nyangka Winter solo stage. gila!
dan seketika jiwa" ingin melihat interaksi Asahi dengan Winter semakin menggebu. gregetan w. semoga soon ya, aminin aja dulu
jangan bosen nunggu untuk chapter selanjutnya yah!
KAMU SEDANG MEMBACA
'𝐑𝐔𝐌𝐈𝐓
Fanficsummary ↳ ❝rumit. gadis itu membuatnya menjadi demikian. tapi itu yang membuatnya sadar, dia pantas untuk diperjuangkan. Rumit ©fleurwinter 2020