Kembali ke rumahnya itu bukan pilihan yang tepat. Tidak aman! Mahluk bayangan pernah ke sana untuk membunuh papa Arwen, dan itu bukan hal yang baik. Lagipula Arwen pasti akan terguncang karena memori kematian papanya secara otomatis akan terputar kembali di pikirannya.
Arwen melenguh. Mengerjapkan mata, dan mencoba mengumpulkan kesadarannya. Aku hanya menatapnya di bawah lenganku. Bukan hanya dia, tubuhku juga melemah. Memusatkan energi untuk menaikkan suhu tubuh bukan selama berjam jam bukan perkara yang kecil. Kau butuh energi lebih lebih lebih untuk melakukan hal itu.
Gadis itu membelalak, duduk secara tiba tiba dan menatap ku marah. Baik, apa lagi sekarang?!
"Kenapa kau bisa berada tepat, maksudku sangat dekat denganku?!" Aku memutar bola mata. Bisakah ia, bangun dengan anggun dan cantik seperti seorang gadis biasa?
"Semalam, kau kedinginan. Ingat? Aku mencoba menghangatkanmu." Pipinya memerah, entah apa yang ia pikirkan. Matanya pun membulat sempurna. Ia menyentuh dada dan lenganku, dan terkesiap.
"Kau.. Hangat"
"Iya. Itu yang aku lakukan semalaman. Mengaktifkan suhu tubuhku dan mencoba membuatmu tetap hangat di dekatku." Ia terdiam.
"Kau pikir bagaimana cara aku menghangatkanmu?" Tanyaku dengan sebelah alisku lebih tinggi, menuntut jawabannya. Ia hanya memalingkan muka. Dan aku menghela nafas, tidak mengerti kenapa pikiran gadis susah sekali untuk ditebak."Kita harus pergi dari sini Arwen, tidak baik menetap lama-lama di sini. Mahluk bayangan akan segera tahu dan akan mengejarmu." Ia kembali melihatku, nampak berfikir. Aku melihat matanya membengkak, bibirnya pucat. Kesedihannya masih ada.
"Kita tidak bisa kembali ke rumahmu. Aku yakin kau akan---"
"Papa" katanya lirih. See! Belum ke rumahnya saja ia sudah mengingat kembali papanya. Itu bukan ide yang bagus.
Hening...
"Semalaman, aku tidak melihat tanda mahluk bayangan ke sini. Mungkin jika kita berpindah sekarang, kita akan lebih sulit untuk ditemukan." Kataku mencoba menjelaskan.
"Kita bisa ke tempat Daniel" aku mengerutkan kening.
"Aku memintamu untuk mencari tempat aman dari mahluk bayangan! Bukan menghampirinya!"
"Kenapa? Ia sahabatku. Lagipula aku tidak percaya apa yang kau katakan padaku Theo"
"Arwen..." Aku mencoba mengontrol emosiku. Jujur, aku memang bukan orang yang baik yang penyabar. Orang seperti pangeran berkuda putih yang memperlakukan wanita dengan sangat lembut. Aku lebih senang mengajari mereka cara beratitude lebih lebih pada gadis di depanku ini. "Kita tidak akan pernah ke sana"
"Kau punya ide lebih baik?!" Jawabnya tak mau kalah.
"Kita bisa berpindah-pindah Arwen, kemana saja asal jangan ke sana" dia mendengus kesal. Seperti dia tidak pernah mau mundur.
"Aku akan ke sana. Terserah padamu kau ikut atau tidak" dan ia melenggang pergi. Aku mengepalkan tanganku, jika saja aku tidak harus melindunginya, dan ia bukan manusia biasa aku akan menghukumnya habis-habisan. Sial!
***
"Oh.. Hai" Daniel membukakan pintunya lebar. Melihat Arwen dan Theo dengan senyum nya yang menawan.
"Dan... Aku mmm"
"Tentu saja Arwen. Masuklah. Buat dirimu nyaman, dan kita akan bicarakan ini semua" seakan tahu yang akan Arwen katakan, Theo bergeser mempersilakan dan menyambut Arwen dengan senyuman... Dan menyambut Theo dengan tatapan mengejek.
Arwen sering ke sini. Sekedar bermain atau bahkan menginap, dan Daniel tidak pernah berlaku buruk padanya. Sekalipun.
"Duduklah, akan aku buatkan minuman hangat" Theo memandang sekeliling. Ini bangunan yang sangat modern. Gedung ini seperti berada di atas awan. Bagaimana Daniel bisa mendapatkan ini dan tinggal di sini? Apakah Damien memfasilitasi ini semua?
"Ini... Untuk kalian" Daniel kembali dengan menyodorkan 2 minuman mengepul itu. "Sekarang, ceritakan ada apa sebenarnya?" Ia duduk mengambil tempat persis di sebelah Arwen, melemparkan pandangan mengejek pada Theo, lagi.
"Aku.. Papa..." Dan air mata itu tumpah untuk yang kesekian kalinya.
"Papa?"
"Papa meninggal.. " Daniel membelalakan mata.
"Meninggal? Kenapa? Bagaimana bisa?" Ia memandang Arwen jauh ke dalam matanya. Mengangkat dagu gadis itu dan mencoba mengambil semua kesedihan itu.
"Dibunuh.. Oleh... Mahluk hitam... Aku... Aku" dan Arwen menangis tersedu sedu. Daniel tanpa pikir panjang merengkuhnya dan menenggelamkan Arwen ke dalam pelukannya. Theo hanya diam, memandang itu seperti sebuah acara TV sambil sesekali melemparkan pandangan membunuh untuk Daniel.
"Ssshhh.. Its okey Arwen.. Aku tahu ini hal sangat berat untukmu." Arwen melepaskan pelukannya dan menatap Daniel dengan matanya yang memerah dan berair.
"Bolehkah aku.. Aku tinggal di sini.. Untuk.. Sementara waktu?" Biasanya ia tidak pernah meminta dengan sopan seperti ini. Entah kenapa, perkataan Theo tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya, dan seperti mendapat sinyal bahwa ia harus berhat-hati, pun pada Daniel atau pada Theo. Karena ia tidak tahu siapa mereka sebenarnya.
"Sure. Tidak perlu meminta seperti itu. Ini tempatmu. Tinggalah di sini sesuai yang kau mau. Kau tahu kamarmu ada di lantai atas, di ujung.. Dan ada pakaian di sana jika kau ingin membersihkan dirimu" Daniel menatapnya lembut. Ia adalah satu-satunya orang yang Arwen punya. Ralat, dua orang karena Theo terus mengikutinya seperti ekor.
Arwen berdiri, dan Daniel pun berdiri di sampingnya. Theo juga mengikuti mereka.
"Aku antar kau ke kamarmu Arwen" Theo berdehem mendengar perkataan Daniel seperti perayu ulung."Aku bisa sendiri Dan. Terimakasih" dan Arwen berlalu pergi.
Theo dan Daniel kembali duduk, berseberangan dan menatap satu sama lain, seperti menelisik ke dalam pikiran masing-masing.
"Omong kosong eh..." Theo memulai
"Kau sudah tahu papa nya mati. Kau sudah tahu kapan mereka akan membunuhnya" Theo berbicara seperti desiran angin. Pelan, dan dingin.Daniel hanya menyunggingkan senyumnya.
"Kadang, kita harus berpura-pura tidak tahu untuk membuat situasi yang menguntungkan" ia selangkah lebih maju."Jangan mengelak Theo. Arwen lebih memilih bersamaku. Ia lebih percaya padaku dibanding denganmu. Serahkan saja ia padaku dan menyerahlah pada Christopher. Mungkin memang di sana tempatmu, pembuangan guardian tidak berguna!" Daniel menyalakan emosinya. Matanya berpendar dengan api, kesombongan, dan kemenangan.
"Ia tahu bahwa kau adalah mahluk bayangan" Theo menjawab santai.
"Dan ia tidak percaya" Daniel menekuk kakinya. Menopangkan sebelah kaki ke kaki satunya dan mengubah posisinya menjadi lebih santai.
Untuk saat ini, harus diakui... Daniel benar.
YOU ARE READING
Arwen
FantasyCihh!! ia merasa teremehkan. Dari sekian banyak tugas, kenapa harus dia yang mendapatkan tugas receh untuk menjaga manusia?! menjaga manusia!!! bisa dibayangkan? Di saat teman-temannya bertarung untuk menjaga keseimbangan bumi, dan ia hanya mengiku...