Rule

15 1 0
                                    

"Arwen akan membencimu karena kau membohonginya" Theo menatapku sinis.

"Ahh, kau terlalu bersemangat Theo. Arwen lebih lama mengenalku dan ia lebih mempercayaiku, dan aku akan dengan sangat senang hati melindunginya" kataku santai menyesap minuman panas yang masih mengepul di atas meja.

Gadis itu sudah beranjak pergi, ke kamarnya. Ia selalu punya tempat di sini, bahkan ini sudah menjadi rumah keduanya ketika ia muak dengan papanya yang tidak pernah punya waktu untuknya. Dan tebak saja, aku lah yang menjadi pahlawan dengan selalu ada baginya. Arwenku.

"Melindunginya? dari apa? Kau bahkan tidak bisa melindunginya dari dirinya sendiri!" Theo tersenyum meremehkan. "Dia.. bukan gadis biasa, kau tahu? Dia seorang berandalan kecil, yang sangat susah untuk dikendalikan" "Mengingat ia begitu menyukaimu, aku yakin kau tidak melarang semua hal yang dia lakukan, termasuk jika itu membahayakan hidupnya" Theo menambahkan.

Ya, ya. Aku tahu yang Theo maksud. Merokok, bergulat dan lain sebagainya. Arwen melakukan itu untuk pelariannya dan aku biarkan ia untuk melepaskan beban dengan melakukan itu semua. Apa aku salah?

"Ia membutuhkannya Theo. Jangan terlalu mengajariku tentang Arwen, aku yang lebih tahu"

"Ha, kita lihat saja. Mungkin ia tidak akan mati karena dibunuh mahluk-mahluk seperti kita.. tapi ia akan mati karena meracuni dirinya pelan-pelan" dan kini Theo bersandar, menatapku santai.

Sial!

Aku berpikir sejenak. Menilisik mimik muka Theo, dan beranjak pergi. Harus aku akui meskipun aku membenci pengakuan ini. Theo benar. Ia benar.. dan aku akan mengambil tindakan mulai dari sekarang.

Aku beranjak menemui gadis itu dan akan meyebutkan peraturannya.

***

Arwen POV

Aku menyesap batang kecil di tanganku, menghirup aromanya dan menghembuskannya perlahan. Menikmati hembusan angin dingin yang membelai anak rambut di dahiku, sementara mencoba untuk memahami cerita Theo, mencoba mempercayainya, namun tetap saja tidak masuk akal.

Selama ini yang ia tahu hanyalah manusia. Ya, manusia biasa dan segala kegiatan manusia biasa. Tidak pernah terbersit sekalipun untuk berurusan dengan hal-hal yang diluar akal. Aku menyesap rokok itu dalam-dalam. Air mataku mengalir, dengan sendirinya mengingat papa. Aku tahu aku tahu, sangat memalukan untuk seorang gadis berandal yang menangis tersedu-sedu di pelukan pria. Tapi tidak bisa terelakkan juga, aku adalah seorang gadis biasa, dan Daniel sudah sejak lama menjadi tempatku untuk menumpahkan semuanya.

"Rokok?" aku terhenyak. Lamunanku terhenti oleh suara pria yang aku kenal. Daniel. Theo tidak pernah datang sesopan ini. Ia selalu datang dengan desiran lembut di tengkuk, mirip seperti mahluk halus. Aku bersandar pada dinding balkon, menghadapnya, dan memandang ke dalam matanya. Pria itu mendekatiku, menyentuh pergelangan tanganku. Aku terkesiap. aku tidak pernah disentuh secara intens seperti ini. Ia menelusuri lenganku dan mengambil rokok itu dari tanganku.

"Hei" aku membelakak dan memprotes.

"Rokok nggak bagus untuk saat-saat seperti ini Arwen" katanya bijaksana.

"Kamu nggak pernah melarangku.. Bahkan dari dulu aku selalu merokok di depanmu kan?!"

"Ya. Sekarang nggak lagi. Mengingat kau sudah menghabiskan banyak bungkus hari ini. Sepertinya kau harus mulai menghentikan kebiasaanmu ini"

"Tapi..."

"Rokok nggak pernah mengubah keadaan menjadi lebih baik" Ahh aku memutar mata. Baik sekali, sekarang semua orang di sekitarku sangat senang melarangku, mengaturku seakan aku ini boneka mereka. Aku berjalan meninggalkannya untuk mencapai sisi balkon yang lain. Ia mensejajariku.

Hening...

Kita semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku menghela nafas.

"Dan... aku ingin bertanya satu hal padamu." kataku tanpa melihatnya. Ia berdehem dan menoleh padaku, tanda bahwa ia memberikan perhatian pada pertanyaanku.

"Kamu.. maksud aku.. ini pertanyaan konyol sih, tapi..."

"Kamu mau nanya aku siapa?" Aku terkesiap. Dia tahu. "Menurutmu aku siapa?" tanyanya kembali. Aku tergagap. kenapa jadi dia yang menanyaiku

"Kamu... Daniel.. sahabat aku"

"Aku itu adalah apa yang kamu percayai Arwen. Kamu percaya sama aku?" butuh waktu beberapa menit untuk mengangguk. Ya, aku mempercayai Daniel. Tidak pernah sekali pun ia melukai aku, dan selalu ada untukku. Apa alasanku untuk mempercayai Theo, bahwa DAniel adalah salah satu orang yang berperan dalam kematian papaku? Itu mustahil.

"Gadis baik" katanya menyunggingkan senyum yang biasa aku lihat. Senyum yang selalu bisa meluluhkan hati semua wanita. "Jadi, karena kau akan tinggal di sini. Kita punya peraturan" katanya berubah serius, melihat manik mataku lebih dalam.

"Anggap saja ini rumamu Arwen, dan aku sangat senang aku tidak tinggal sendirian lagi. tapi peraturannya adalah, jangan pernah melakukan sesuatu yang akan mencelakai dirimu sendiri. Kau ngerti?"

Apa? apa yang dia bicarakan? Maksudnya aku akan bunuh diri di sini atau aku akan mencuri barang di sini atau....

"Aku ngerti apa yang kamu pikirin sekarang, gadis kecil. Maksudku tindakan melukaimu, seperti merokok, mabuk, pulang terlalu malam, berduel dengan siapapun prang yang kau temui di jalan" aku tertawa tipis.

"Emang aku seberandal itu?"

"Aku udah kenal kamu lama Arwen. Aku tahu kebiasaan kamu, dan dulu memang aku tidak pernah melarang itu, karena, yahhh siapa aku... Sekarang, kau akan menjadi tanggung jawabku karena kau tinggal bersamaku" aku menghela nafas, muak. Kenapa sekarang semua orang sangat ingin mengambil tanggung jawab atas diriku? Kenapa semua orang sekarang sangat ingin mengambil kendali atas apa yang aku lakukan?

Aku tidak punya pilihan. Akan menjadi sangat bodoh jika dengan peraturan yang di buat Daniel, aku pergi.

"Baik. Aku setuju" kataku pada ahkirnya.

ArwenWhere stories live. Discover now