"Kita harus melakukan gencatan senjata untuk saat ini Daniel" Theo berbicara tanpa menoleh. ia tahu dan sudah sangat hapal denga betul kehadiran Daniel, ia membolak-balikkan pancake di pan dan berkonsentrasi dengan itu.
"Kau.. memasak" Daniel mengambil gelas dalam laci, menuangkan air mineral ke dalam nya dan menenguknya perlahan. Memperhatikan musuh bebuyutannya yang dengan lihat menggunakan spatula untuk memasak pancake. Aroma yang dikeluarkan sudah menguar memenuhi seisi ruangan. sepertinya tidak rugi ia menampung Theo di rumahnya.
Theo meletakkan susunan pancake itu ke piring. Ini sudah piring ke 3 yang ia sajikan. Itu berati ia memasak untuk Daniel dan Arwen. Sangat terpuji, ia kemudian mengambil sirup maple yang ada di lemari atas dan menuangkannya perlahan. Daniel melihat itu, tanpa berbicara. Ia terus menelisik apa yang direncakan Theo? Kenapa ia bersikap sangat manis sekarang?
"Katakan, apa yang kau pikirkan Theo?"
"Tidak ada. Hanya jika kita memang ingin gadis itu baik-baik saja, kita harus bekerja sama." Theo menjawab ringan, mengambil tempat di salah satu kursi dan menyesap kopinya. "Kita harus mulai terbuka, Christopher menginginkanku menjaga Arwen dari mahluk bayangan, tanpa aku tahu sebabnya. Dan tiba-tiba saja, papanya mati di tangan manusia bayangan, sekarang apa yang Damien inginkan dari Arwen?"
oh! Dia ingin mengetahui sesuatu, sekarang pantas saja ia berlaku begitu sopan.
"Untuk apa aku menyetujui bekerjasama denganmu?" jawab Daniel menelisik, menyipitkan matanya dan berusaha membaca apapun ekspresi yang ditunjukkan oleh Theo. Tapi ekspresi terbesar yang Daniel temukan adalah, dingin dan datar. Theo jarang sekali berekspresi.
"Ayolah. Ini tidak merugikan. Aku tahu kau mencintainya.. Jika kita bekerjasama, aku akan menyelsaikan tugasku dari Christopher dan kau akan mendapatkan gadis itu, win-win solution. Aku hanya perlu memastikan bahwa Damien tidak akan melakukan sesuatu yang buruk pada gadis itu." ia menyesap kopinya lagi.
"Damien tidak akan melakukan hal yang buruk Theo. Itu konyol. Damien memiliki hubungan dengan Arwen" Daniel menatap gelas di depannya, menelusuri pinggiran gelas seakan gelas itu akan lebih mengkilap dengan usapan ibu jarinya.
"Hubungan?"
"Ya... semacam hubungan darah___"
"Haii... aku mecium wangi dari kamarku" Daniel dan Theo berpandangan pada awalnya dan menoleh, Arwen. Dia datang, masih berantakan dan senyum di bibirnya. Sepertinya ia sudah cukup melupakan kematian ayahnya.
Pembicaran berhenti. Theo dan Daniel saling bertatapan seakan tahu yang dikatakan satu sama lain, tanpa ada yang berbicara.
"Sini Arwen, Theo membuat pancak untuk kita" Daniel menarik kursi di sebelahnya dan mempersilahkan gadis itu duduk.
"Kau bisa memasak? Ku kira mahluk batu sepertimu hanya bisa menguntitku" kata Arwen sarkas, dan Theo hanya memandangnya tanpa ekspresi. Beruntung ia sudah sedikit bisa mengontrol emosinya. Arwen menarik salah satu piring itu memakan pancake nya. Ia memejamkan mata. Rasa lembut pancake ini memenuhi mulutnya dan aroma wanginya masuk ke dalam hidupnya. Ini pancake terbaik yang pernah ia coba.
"Kamu suka?" Daniel melihat ekspresi itu, menahan tawa. Ia mengambil bagiannya dan mengikuti Arwen, tenggelam dalam rasa pancake itu.
"Thanks Theo" kata Daniel pada ahkirnya, setelah semua pancake itu pindah ke perutnya. Arwen menatap Theo dan Daniel bergantian. Bukankah kemarin mereka saling membenci? Melemparkan tatapan sinis dan membunuh satu sama lain. Bahkan Theo sangat tidak setuju jika mereka menetap di sini. Tapi yang ia lihat sekarang adalah mereka berdua seperti kenalan, teman, bahwa rekan yang sangat akur dan manis. Kenapa? ada apa ini?
***
Flashback
Wajah itu cantik, persis seperti ibunya. Berkulit peach halus, rambut keemasan yang bergelombang, dan bibir tipis merah muda yang ranum, hampir seperti tiruan Lilian. Damien mengamati wajah putrinya.
Sejak Lilian meninggal dan mengatakan bahwa Aretha adalah bagian dari dirinya, Damien menyayangi Aretha, melindunginya dari segala apapun. Menganggap Aretha benar-benar titipan dari Lilian, istrinya, ratunya, cintanya.
Di malam Lilian meninggal, Damien masih menganggap anak itu membunuh istrinya. Karena melahirkan Aretha lah kondisi Lilian semakin parah. Dengan geram ia menggendong Aretha kecilnya, mengangkatnya ke udara bersanding dengan petir dan guntur dan menatap mata Aretha tajam.
"Aku mengutuk setiap mahluk bayangan yang bersanding dengan manusia akan mati!" Damien menggeram bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar. Memang, Lilian mati karena penyakit yang dideritanya. Karena tubuhnya lemah ditambah dengan kehamilannya yang membuat tubuhnya semakin bekerja keras untuk melindungi bayi dalam rahimnya dan berperang melawan penyakitnya. Namun, Damien tidak ingin mahluk bayangan lain merasakan semua itu, merasakan kehilangan dan rongga besar dalam dirinya karena Liliannya sudah tiada. Maka, lebih baik tidak akan pernah ada hubungan antara manusia dan mahluk bayangan. Toh, mereka tetap akan terpisahkan dengan kematian meningat bahwa mahluk bayangan bersifat abadi sedangkan manusia hanya hidup untuk sementara.
Aretha kecil menangis sejadi-jadinya. Menatap mata ayahnya yang tajam dan menakutkan, mendengar suara guntur yang mengerikan. Sekarang tidak ada ibu yang akan memeluknya, melindunginya dari hujan gila yang akan memangsa semua yang berada di bawahnya.
***
Damian tertegun sekarang, mengingat peristiwa masa lampau. Kenapa dia begitu bodoh? Dengan mudahnya mengatakan kutukan itu. Tidak memedulikan wajah ketakutan Aretha dalam gendongannya.
Sekarang kutukan itu benar-benar terjadi dan jatuh pada putrinya, Aretha. Putri tunggalnya, bagian dari istrinya, Lilian. Damien terus merutuki kebodohannya di masa lalu. Aretha kini sudah tumbuh dewasa. Ya! Ia secantik ibunya. Meskipun mereka mahluk bayangan, mereka tetap tampak seperti manusia. Oh Lilian, maafkan kebodohanku yang jatuh pada putri kita...
YOU ARE READING
Arwen
FantasyCihh!! ia merasa teremehkan. Dari sekian banyak tugas, kenapa harus dia yang mendapatkan tugas receh untuk menjaga manusia?! menjaga manusia!!! bisa dibayangkan? Di saat teman-temannya bertarung untuk menjaga keseimbangan bumi, dan ia hanya mengiku...