Seketika cahaya bulan malam terasa meredup. Udara pengap mendekap erat tubuhnya bersama kelaparan yang menggerogoti lambungnya. Sementara kepalanya masih terus memikirkan percakapan terakhir dengan bapaknya.
Dengan kondisi tubuh terbaring diatas kasur bapaknya bilang, "Dunia begitu perkasa jika dikejar dan begitu rapuh jika dijauhi." Dia yang merasa tidak bisa memahami perkataan itu kemudian bertanya, "Apa maksudnya pak?" Bapaknya tersenyum dan melanjutkan perkataannya. "Kamu perlu menjauhi dunia agar mengetahui bagaimana dunia akan tunduk padamu." Dia menganggukkan kepala.
Dia merasa telah memahaminya dengan menisbatkan makna dunia sebagai kekayaan dan segala kenikmatan duniawi yang selama ini dijauhi bapaknya. "Butuh keikhlasan agar hidupmu setenang kerang yang menghasilkan mutiara. Keikhlasan itu akan lahir setelah kamu menjauhi dunia dan membiarkannya tunduk di hadapanmu, Nas." Terlihat ekspresi puas bapaknya setelah menyelesaikan ucapannya.
Dia bukan orang yang terlahir tanpa keluarga. Di sebuah desa yang berjarak hampir seribu kilometer dari Jakarta, dia memiliki keluarga yang masih memikirkannya. Mereka masih terus mencari keberadaannya dengan membagikan fotonya di pusat-pusat keramaian. Setidaknya dia pernah menjumpainya sekali pada Agustus tahun 2009 di dekat pasar induk kota kelahirannya. Pamannya terlihat sedang menjajakan fotonya ke orang-orang yang ada di pasar induk.
"Pak, Anda pernah lihat orang ini?" Tunjuk pamannya pada sebuah foto berukuran 4 R yang telah dilaminasi.
"Tidak."
"Atau anda pernah mendengar nama ini di daerah sini?" Pamannya menunjukkan tulisan yang dicetak tebal dibalik foto itu. Terlihat tulisan "Khoirunnas".
"Aku enggak tahu." Jawab seorang lelaki berbaju batik dengan kaca mata rabun yang cukup tebal.
"Aku mendapat kabar dari orang-orang kalau dia terakhir terlihat di sini." Pamannya memaksakan penjelasannya.
Dia menyaksikan adegan itu. Memperhatikannya dari samping tempat sampah dengan rambut kumal berwarna merah, tubuh yang tinggal tulang belulang, dan tatapan kosong yang tidak memiliki makna. Dia tidak ingin kabur layaknya orang yang tidak ingin ditemukan. Dia tidak pula berharap agar pamannya dapat mengenalinya meskipun jarak keduanya hanya terpisah oleh satu blok pertokoan yang ramai pembeli. Perasaannya memantik keinginan untuk menyapa Pamannya. Namun kesemuan dalam pikirannya terus saja memaksa agar dirinya tetap memendam keinginannya. Dia meyakinkan dirinya bahwa khoirunnas muda sedang menjalani lakon untuk melepaskan dunia.
Dia dapat mengingat dengan jelas aksi putus asa pamannya, mata sayu dan muka yang penuh kepedihan. Bagian yang paling nyata adalah langkah gontai pamannya saat meninggalkan Pasar Induk. Ingatan semacam itulah yang selalu menghiasi malam-malam sebelum dirinya tertidur.
"Makanlah bersamaku!" seorang lelaki dengan jaket kulit duduk di sampingnya.
"Siapa kamu?" Dia bangkit dari tidurnya.
"Satu-satunya orang yang mengenalimu." Senyuman lelaki itu mengingatkannya pada wawan teman SMPnya.
"Wawan?"
Lelaki itu mengangguk. "Aku santri bapakmu. Kamu pasti ingat saat pengajian dulu, aku selalu datang terlambat."
"Ya" Jawabnya datar. "Aku mengira sudah tidak ada yang mengenaliku."
" Masih banyak yang mengenalimu di sini. Mereka biasanya sengaja membuang makanannya yang masih bagus ke dekat tempat sampah agar dapat kamu makan."
"selesai makan, aku harus segera meninggalkan tempat ini."
"Sebentar, aku tidak bermaksud mengusirmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kabar tentang kegilaanmu itu tidak benar."
"Untuk apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kata
Mystery / ThrillerKumpulan dari beberapa cerita pendek dengan judul yang terdiri dari Satu Kata. Tiada kesamaan selain judulnya.