Keluarga

297 89 42
                                    

Hari baru telah dimulai dan terdengar kokok ayam saling sahut - menyahut. Aku mengenali suasana seperti itu dengan sangat baik, mendengarnya dengan seksama dan mencoba merasakannya. Rasa rindu yang terasa menekanku selama ini, pelan-pelan berangsur pulih. Rasa gamang yang tinggal dalam batinku pun berangsur sirna beriringan dengan udara dingin yang menjalar melalui pori-pori kulitku.

James, seekor anjing jenis kintamani berwarna hitam duduk di samping kepala Ribka, pemiliknya dengan lidah menjulur panjang. Sementara itu, Ribka meninggikan bantalnya dan tangan berpegangan pada kedua sisi dipan. Napasnya terdengar keras dan dalam disertai keringat yang membasahi keningnya. Mulutnya tertutup rapat dengan mata yang sesekali terpejam. Tiba-tiba Ribka mulai meracau tentang sekelumit kenangannya yang tersibak dari bayang-bayang james. Tentang seorang lelaki gagah perkasa dengan usia sepuluh tahun lebih tua darinya yang tidur berbaring di sampingnya sambil mendengkur keras dan membangunkannya. Ribka ingin sekali merubah posisi tidurnya dan atau membangunkannya agar dirinya dapat kembali tertidur. Tetapi dia tidak ingin melanggar pesan ayahnya. "Perempuan bagaikan pakaian yang melindungi lelaki dari rasa malu. Kamu hidup menumpang pada suamimu. Biarkan suamimu menjalani hidupnya, layalanilah sebaik yang kamu bisa!"

Sambil menghapus air matanya, Ribka kembali meracaukan momen perkenalan dengan suaminya. "Kamu pasti mengenalnya, dia Hariman anak dari pamanmu Sukirno. Dia sekarang telah bekerja di perusahaan negara sebagai seorang insinyur. Dia memimpin berbagai proyek vital nasional. Bukankah begitu nak Hariman?" Ujar ayahnya.

Wajah putih Hariman berubah memerah. Dia berupaya menutupi kecanggungan dan rasa malu dengan senyum tipis yang membuat kumisnya terlihat merenggang. Ribka tidak ingat jawaban yang kemudian disampaikan Hariman kepada ayahnya. Bahkan Ribka tidak mampu mengingat bagaimana awal dari semua kesalah pahaman ayahnya yang menganggap senyum Ribka sebagai jawaban setuju atas niat baik Hariman.

Ribka kembali tersadar ketika sebuah gerakan mulai terasa dari perut besarnya. "Mas aku sudah merasakannya." Ucapnya padaku. Aku memintanya untuk memeriksa semua peralatan yang sebelumnya telah diperdiapkannya.

Dengan mata setengah terpejam, dia periksa semua peralatan yang telah disiapkannya. Sebuah gunting yang telah disterilkan dengan alkohol. Sebuah bak plastik warna putih dengan air bersih. Beberapa handuk putih yang telah dia tata rapih di dekat pintu kamar mandi. Sebuah keranjang Bayi dari rotan berwarna coklat.

"Sudah dua kali aku melahirkan, jadi kamu tidak perlu kawatir mas." Ujarnya meyakinkan diriku. "Beri aku kesempatan untuk merasakannya hidup dalam diriku mas."

Terlihat olehku Ribka mencoba menenangkan diri. Membiarkan dirinya menikmati momen-momen terakhir berbagi tubuh dengan buah hatinya. Meskipun aku tahu bahwa jauh di dalam batinnya, perasaan kawatir telah menggerogoti kepercayaan yang membimbingnya sampai sejauh itu. Dia pejamkan kembali matanya beriringan dengan tarikan napasnya dan menahannya sebentar untuk menghasilkan dorongan yang kuat.

Aku melihat Ribka yang setengah sadar menggelengkan kapalanya. "Aku hampir saja menyerah mas."

Ribka kembali meracau tentang pernikahannya. Saat itu dia duduk di pelaminan bersama dengan Hariman. Mengenakan kebaya berkain bludru warna hitam dengan sanggul dan riasan bunga melati di rambutnya. Sebuah momen yang hanya berselang sebulan setelah pertemuan pertamanya dengan Hariman.

Dengan senyum lebarnya, Hariman memperkenalkan Ribka kepada teman sekolah, teman kuliah, dan rekan kerjanya. "perkenalkan istriku, Ribka." Supaya Ribka tidak malu, Hariman segera membisikkan alasannya melakukan itu. "Biarkan mereka iri padaku karena memiliki istri secantik dirimu."

Ribka bercerita tentang kenangan bersama suaminya saat membangun perasaan cinta pasca acara pernikahannya. Tiap akhir pekan keduanya berlibur ke hampir semua tempat wisata di dekat ibu kota. Mereka beberapa kali berwisata ke Bandung, Bogor, Dieng, dan sebagian besar akhir pekannya dihabiskan di cafe kecil dekat perumahannya.

Satu KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang