29-Kebenaran yang Tertunda

405 42 24
                                    

Terkadang yang memberi luka di hati kita adalah pikiran kita sendiri

-Ameetha

"Hai, Veyla," sapa wanita itu ramah yang sukses membuat tubuh Veyla mematung untuk sesaat. Tubuhnya yang semampai itu kini semakin mendekat ke arah pintu rumah Veyla dengan senyum yang masih terukir di bibirnya.

Namun, hal itu tak kunjung juga membuat Veyla mempersilahkan wanita tersebut masuk atau sekedar membalas sapaannya. Veyla malah sibuk menatapnya dengan tatapan yang terbilang dingin membuat Daniel bangkit dari duduknya sambil menatap Ameetha dan Veyla secara bergantian.

"Mungkin dia yang mau ngobrol lebih lama sama lo," ucap Daniel secara tiba-tiba dengan pandangan yang kini terus tertuju pada Ameetha, membuat Veyla memutar kepalanya ke arah Daniel.

Ameetha hanya menanggapi sambutan dingin yang diberikan Veyla dengan seulas senyum. Entah wanita itu masih bingung dengan siapa dirinya atau memang sudah tahu, tetapi memang tak mau menerima kehadirannya.

"Gue pamit," ucap Daniel pada Veyla lalu melenggang pergi melewati Ameetha yang masih setia berdiri di depan rumah Veyla.

Setelah jarak Daniel dengan rumah Veyla mulai jauh, Ameetha mengalihkan pandangannya kembali ke arah Veyla yang masih setia menatapnya dengan tatapan dingin.

"Apa... gue boleh masuk?"

Veyla diam. Wanita berambut kecoklatan itu terlihat menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.

Tanpa memberikan sepatah atau dua patah kata untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan Ameetha, Veyla lebih memilih untuk memalingkan wajahnya seperti semula dengan tatapan lurus ke depan seolah memberi jawaban jika ia mengizinkan Ameetha masuk.

Ameetha hanya mengendikkan kedua bahunya ketika melihat Veyla yang seakan tak ingin bicara sama sekali dengannya. High heels-nya yang berukuran lima senti itu kini telah menapaki lantai rumah Veyla yang bersih dari debu.

Ameetha mendaratkan bokongnya di sofa single tepat berseberangan dengan Veyla yang membuat istri dari Jevan Alvaro itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kayaknya kita butuh perkenalan dulu, deh." Ameetha memulai pembicaraan kembali lalu mengulurkan tangannya ke arah Veyla. "Gue Ameetha."

"Sudah tahu," sahut Veyla acuh tak acuh. Ameetha yang melihat itu hanya bisa memunculkan senyum tipis sambil menganggukkan kepalanya kecil berusaha memberi pemakluman.

Wanita bertubuh ramping dengan rambut sebahu itu menegakkan tubuhnya sambil terus menatap Veyla yang tampak enggan sekali untuk sekedar melirik ke arahnya.

"Mungkin selama ini lo sudah banyak bertanya-tanya mengenai gue. Dan mungkin... mengenai hubungan gue dengan Jevan?"

Veyla merasakan dadanya sesak ketika mulut Ameetha menyebut nama Jevan dengan begitu mulusnya. Namun, ia berusaha tetap terlihat acuh tak acuh di depan wanita yang tampak seumuran dengannya.

Ameetha tersenyum tipis sambil menundukkan kepalanya sedikit. "Sebelumnya, gue mau tanya sama lo, Vey. Selama ini, apa yang lo pikirkan tentang gue dan Jevan?"

Wanita berambut panjang kecoklatan itu mengembuskan napas beratnya sambil mendongakkan kepalanya sedikit guna menghalau air mata yang sudah bersiap terjun bebas ke pipinya.

"Suatu hubungan," jawabnya cepat tanpa melirik sedikitpun ke arah Ameetha yang tengah menatapnya dengan intens.

Veyla memang tak bisa untuk melihat ke arah Ameetha barang sedetik saja. Seorang wanita yang beberapa kali namanya pernah diucapkan Jevan ketika ia berada di dekat Veyla, kini telah ada di hadapannya. Jika melihat sosok wanita itu, sama saja mengingatkannya dengan luka yang selama ini Veyla pendam.

Stay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang