8-Tentang Dia

985 78 6
                                    

Matahari yang mulai naik tak menurunkan niat keenam sahabat ini untuk melaksanakan rencana jalan-jalan mereka. Tetapi bedanya pilihan destinasi yang diajukan saat fberada di rumah Veyla barusan tak ada satupun yang mereka lakukan.

Dan sekarang mereka tengah berlibur ke.. Mall.

Pilihan yang buruk bagi Yadi dan kedua teman sampretnya tapi tidak bagi Caca dan Fika. Kedua wanita itulah yang mengusulkan untuk pergi ke tempat keramaian itu karena Veyla yang sedari tadi menggeleng ketika mereka mengusulkan tempat wisata yang menarik di sini. Untuk pergi ke Mall saja mereka berlima harus membujuknya mati-matian. Jika saja air liur ini ada batasnya, mungkin mereka sudah tak memiliki air liur lagi.

Veyla hanya memandang datar ke sekelilingnya. Sebenarnya ia malas untuk pergi ke tempat keramaian seperti ini disaat suasana hatinya sedang mendung. Ia lebih baik memilih untuk menonton drakor di kamar sendirian atau tidak membaca novel bergenre action-romantic. Entah kenapa sekarang Veyla lebih menyukai novel yang ada berbau romantis dan sedikit ada bumbu action-nya.

Ketika teman-temannya menuju ke salah satu toko baju yang berada di dekat mereka, Veyla masih tak beranjak dari tempat berdirinya saat ini. Tangan putihnya terulur ke arah saku celananya untuk mengambil ponsel berlogo apel miliknya.

Dengan satu tarikan nafas dan pejaman mata, Veyla menyalakan layar ponselnya guna memastikan apakah ada balasan atau kabar dari orang yang ia tunggu-tunggu dari kemarin. Veyla membuka matanya perlahan, nihil. Tak ada sama sekali nama sang suami terpampang di layar ponselnya. Entah itu chat atau hanya sekedar misscall.

Segera Veyla mematikan daya ponselnya ketika suara Yadi menghampiri telinganya.

"Positif thinking Vey, mungkin dia lagi--"

"Sibuk?" Potong Veyla cepat sambil menatap Yadi dengan tatapan lirih. "Lo gak bakal ngerti perasaan gue, Di." Setelah itu, Veyla langsung berlalu untuk menghampiri kedua temannya, meninggalkan Yadi yang masih dengan sejuta pikirannya untuk memikirkan masalah percintaan Veyla dan Jevan yang tak ada habisnya.

~~~

Beberapa jam yang lalu, pesawat yang ditumpangi Jevan telah mendarat dengan sempurna di salah satu bandara internasional yang ada di Amerika Serikat.

Kemarin ia memang mendapat kabar dari teman sekaligus sekretarisnya di kantor bahwa ada sedikit masalah di perusahaan yang sebenarnya masih milik papanya itu.

Jevan sekarang dalam perjalanan menuju perusahaan yang saat ini dibawah naungannya. Mobil bermerk Ford warna hitam miliknya membelah jalan kota New York yang saat ini masih dalam keadaan lengang.

Mobilnya sampai di sebuah perusahaan besar milik sang papa setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Jevan menuruni mobilnya dengan tatapan datar dan elang khas miliknya. Selama berada di Amerika, Jevan tak pernah menunjukkan sifat terbukanya pada orang. Ia tetap seperti Jevan yang dingin saat masa SMA.

Jevan melangkah masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut dengan langkah lebar dan punggung yang tegap membuat beberapa karyawati yang berpapasan dengannya sedikit terpesona. Jevan lebih berkharisma saat seperti ini.

Langkahnya ia hentikan ketika sudah berada di dalam ruangannya. Jevan menghempaskan bokongnya ke atas kursi yang berada di tengah-tengah ruangan dengan tangan yang bertopang dagu di meja sembari memperhatikan foto pernikahannya dengan Veyla. Ada rasa rindu bercampur penyesalan karena sudah meninggalkan Veyla di Indonesia secara mendadak dan tanpa berpamitan.

Setelah termenung beberapa saat, Jevan merogoh ponselnya yang berada di saku celana. Pakaian yang ia pakai hari ini cukup santai, celana hitam dengan baju lengan panjang yang senada dengan warna celananya menjadikan Jevan lebih kelihatan mainly di mata para wanita. Pantas saja Veyla tak ingin ketampanan suaminya ini dibagi-bagi.

Stay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang