Prolog

46 12 9
                                    

Nadeen dan ibunya sedang berada di salah satu mal ketika ayahnya—Rio Mahendra—sedang bersama teman bisnisnya yang bernama Edward Harris

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nadeen dan ibunya sedang berada di salah satu mal ketika ayahnya—Rio Mahendra—sedang bersama teman bisnisnya yang bernama Edward Harris. Mereka berdua sedang berdiskusi untuk mencari solusi agar bisa menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut. Rio dan Edward sudah berteman sejak mereka di perguruan tinggi. Namun, Rio tidak pernah menyadari jika Edward tidak sungguh-sungguh ingin berteman dan hanya memanfaatkannya. Edward selalu mencoba untuk mendapatkan segalanya, meskipun harus menggunakan cara yang kotor.

"Itu tidak mungkin." Dengan tegas pria yang berusia tiga puluh delapan tahun itu menolak usulan Edward.

Edward melangkah mendekati sahabatnya dan berkata, "Pikirkan keluargamu. Aku sudah mendapatkan sebagian dananya, jika ditambah dari hasil pelelangan berlian itu, aku yakin kita bisa bangkit kembali."

Rio memandang sahabatnya dengan tatapan heran. "Bukannya katamu berlian itu tidak bernilai tinggi? Ayolah, kita pasti akan mendapatkan cara lain. Lagi pula, berlian itu sangat unik, jadi aku lebih memilih untuk menyimpannya."

"Aku tahu, Rio. Mungkin itu memang tidak bernilai tinggi, tetapi paling tidak bisa membantu, 'kan? Dengar Rio, kalau kamu memberikannya pada aku, kamu tidak perlu khawatir tentang hutang-hutang perusahaan. Aku akan membereskan semuanya dan keadaan akan baik-baik saja, semuanya akan kembali normal," bujuk Edward untuk kesekian kalinya.

"Aku tidak bisa melakukan itu, Ed." Rio menghela napas panjang dan berjalan menuju jendela kaca yang menjulang tinggi, memperlihatkan cuaca cerah di luar. Sinar matahari menembus kaca besar itu dengan hangatnya, membuat rambut cokelat Rio menjadi warna keemasan. Tangannya merogoh saku celana ketika berusaha menjauhkan rasa frustrasi yang menyambangi.

Di sisi kanannya, Edward yang tidak tahan lagi mulai mengeluarkan kata-kata ancaman. "Rio, aku sudah memberimu pilihan sederhana di sini. Berikan itu padaku atau kamu akan melihat apa yang bisa aku lakukan."

"Apa maksudnya?" tanya Rio dengan suara yang sedikit meninggi. "Jangan coba-coba mengancam aku ya, Edward. Ingat, aku ini pemegang terbesar saham perusahaan. Jadi, aku berhak juga mengambil keputusan," geramnya.

Pada saat yang bersamaan, Nadeen dan ibunya tiba di rumah. Tangan mungilnya digandeng oleh sang ibu saat mereka berdua berjalan menuju teras.


"Ibu, itu siapa?" Dengan polosnya Nadeen bertanya pada ibunya sambil menunjuk ke arah mobil hitam yang terparkir sebelah kiri teras rumah mereka. Di sana terdapat seorang anak kecil seumuran Nadeen yang duduk sendirian di kursi belakang mobil mewah dengan jendela terbuka.

"Ibu kurang yakin, Sayang. Mungkin dia anak dari teman ayah," jawab sang ibu mencoba melihat ke arah mobil itu dengan jarak yang cukup jauh. Mereka berdua terus berjalan mendekati ke pintu utama. Tetapi ketika hendak membuka pintu, mereka mendengar suara pecahan kaca dari dalam rumah.

Ibunya menatap Nadeen dengan cemas ketika mendengar suara itu. "Sayang, kamu bisa tunggu di sini sebentar? Ibu mau memeriksa sesuatu di dalam."

"Iya," jawabnya singkat dan ibunya memberi sebuah kecupan di pipinya sebelum membuka pintu dengan pelan dan melangkah masuk.

Nadeen membalikkan badan mungilnya dan menatap anak kecil yang masih duduk di kursi belakang tersebut. Tanpa diduga, kedua mata mereka bertemu, anak lelaki berambut cokelat tua itu tampak heran ketika melihat Nadeen. Meski pada akhirnya mereka berdua tersenyum satu sama lain. Ketika Nadeen hendak menghampirinya, ia mendengar suara tembakan dan teriakan dari sang ibu. Tanpa berpikir panjang, Nadeen kecil segera berlari masuk ke dalam dan mencari di mana sumber suara tersebut.

Tubuh kecilnya menegang ketika ia melihat sang ibu meraung dan meneriaki nama ayahnya sambil terduduk di lantai yang dingin. Sepihan guci bernilai tinggi berceceran di sebelah sisi kanan sofa. Rio tergeletak dengan posisi miring di dekat jendela. Cairan merah pekat membasahi kemeja putih yang ia kenakan serta lantai marmer di sekelilingnya, wajah pucat itu menjelaskan bahwa ayahnya tercinta telah pergi untuk selamanya.

Nadeen melihat seorang pria yang berdiri mematung dengan senjata api di tangannya. Pria itu menatap Nadeen sekilas sebelum kemudian berjalan keluar tanpa sepatah kata, meninggalkan ia dan ibunya yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.

 Pria itu menatap Nadeen sekilas sebelum kemudian berjalan keluar tanpa sepatah kata, meninggalkan ia dan ibunya yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bring DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang