Waktu Yang Lambat

22 6 6
                                    

Keramaian di kantin sangat kontras denganku yang duduk seorang diri di salah satu meja paling ujung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keramaian di kantin sangat kontras denganku yang duduk seorang diri di salah satu meja paling ujung. Di depanku terhampar taman yang sangat luas, di sana terdapat berbagai jenis tanaman hasil karya anak pertanian. Warna daun yang subur itu anehnya membuat puncak kepalaku terasa berdenyut.

Berulang kali aku memejamkan mata untuk mengusir kekhawatiran terus menyelimutiku setelah menerima panggilan dari rumah rehabilitasi. Mereka mengatakan jika ibu kembali ketakutan dan terus menerus menggumamkan sesuatu. Rasanya aku ingin segera berlari dan memeluk ibu, tetapi aku tidak bisa begitu saja membolos. Beasiswaku akan menjadi terancam jika aku terus menerus absen.

Beberapa kali mataku melihat ke arah jarum jam yang bergerak begitu lambat. Ini sungguh menyiksa. Tak lama kemudian Alison menghampiriku dengan membawa sebotol air mineral dan juga dua potong roti isi yang kupesan. Aku mengucapkan terima kasih padanya, tetapi sama sekali tidak ada keinginan untuk menyentuh makan yang ada di depanku ini.

Alison menatapku dengan mengangkat kedua alisnya sembari bertanya, "Lo kenapa, Nad? Abis dapat duit bukannya happy malah suram gitu muka lo."

Aku tertawa miris dalam hati, ingin rasanya aku berteriak dan mengeluarkan isi hatiku jika sebanyak apa pun uang yang kudapat, jika ibu masih sakit, itu tidak berarti apa-apa. Lagi pula, uang itu juga sebagian besar aku sisikan, jarang sekali aku menggunakan uang hasil jerih payahku untuk bersenang-senang. Persahabatanku dengan Alison memang bisa dibilang cukup erat, meskipun belum terlalu lama. Alison tahu jika ibuku menderita gangguan kejiwaan, tetapi ia tidak tahu apa penyebabnya. Ia juga mengetahui jika ayahku meninggal dunia ketika aku masih kecil, tetapi aku juga menutupi tentang tragedi di balik itu semua. Aku tidak ingin orang lain tahu dan mengasihiku hanya karena hal itu.

"Duit gak sepenuhnya bikin bahagia kali, Al," gumamku sambil membuka tutup botol dan meneguk isinya.

Responku membuat Alison berdecak. "Gitu banget jawabnya. By the way, ngerasa gak tadi di kelas anak baru itu ngelihatin lo terus?"

Aku mengernyit. "Sebastian?" tanyaku untuk memastikan yang mana mendapat anggukan dari Alison. "Salah lihat kali lo. Dia duduk di belakang gue, ya otomatis lihat ke depanlah. Kebetulan aja gue ada di depannya."

"Ah, lo emang kadang gak sadar diri sih. Banyak tahu yang naksir lo, ada beberapa anak dari fakultas lain yang nanyain ke gue," beber Alison dengan semangatnya.

Menjalin hubungan dengan lawan jenis sama sekali bukan prioritasku saat ini. Bahkan, aku sebisa mungkin menghindari itu karena akan sulit untukku membagi waktu untuk ibu. Fokusku saat ini adalah kesembuhan ibu dan juga mencari tahu siapa pelaku sebenarnya atas pembunuhan ayah. Beberapa tahun terakhir setelah ibu di rawat, aku mulai mencari informasi tentang rekan kerja ayah. Namun, hasil belum memuaskan. Sebagian besar mereka mengaku jika tidak tahu persis siapa saja orang yang dekat dengan ayah dulu.

Aku sangat yakin, orang yang kulihat saat ayah meninggal adalah salah satu rekan kerjanya. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak tahu namanya.

"Eh, tapi menurut lo Ian ganteng gak?" tanya Alison membuyarkan lamunanku.

Bring DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang