Aku terpaku menatap tulisan itu dengan ratusan pertanyaan yang menguasai pikiran. Satu per satu kejanggalan hadir di sekitarku yang sebelumnya tidak pernah ada. Aku tidak pernah mempunyai masalah dengan orang sebelumnya karena aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Namun, hanya satu masalah besar yang belum terselesaikan, yaitu kematian ayah.
Apa ini ada kaitannya dengan itu?
Apa dia adalah pelakunya?
Apa orang ini meminta maaf atas kejadian belasan tahun yang lalu?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja di dalam kepalaku.
"Ini maksudnya apa, Nad?" tanya Alison menarikku kembali ke realita.
"Gue juga nggak tahu," jawabku seadanya.
Apa yang ada di pikiranku saat ini hanya sebatas dugaan semata, aku belum mempunyai bukti yang konkret untuk bisa menyimpulkannya. Apa harus kulakukan sekarang?
Viktor yang berdiri di sebelah kiriku bertanya, "Lo ada musuh, Nad?"
"Kok kamu nanyanya gitu? Nadeen mana mungkin punya musuh, bersosialisasi aja jarang banget," ucap Alison yang memang benar adanya. "Apa ini ulah Ian?"
"Jangan nuduh sembarangan, aku yakin orang tadi bukan Ian," ucap Viktor dengan cepat. Ia terlihat sangat terganggu dengan tuduhan Alison yang ditujukan ke sahabatnya.
Alison bercedak. "Aku cuma ngomong apa adanya, yang nggak suka sama Nadeen saat ini 'kan cuma Ian."
"Lo tadi benar-benar lihat orangnya, V? Lihat mukanya?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian mereka agar tidak bertengkar. Aku semakin penasaran kenapa ada orang yang mengejarku. Apa yang mereka inginkan dariku sebenarnya?
Viktor beralih duduk di sofa dan seperti mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa menit yang lalu sebelum berucap, "Gue nggak lihat mukanya sih. Cuma postur badannya aja sama bajunya. Dia tinggi … agak kurus, terus pakai hoodie hitam, tudungnya nutupin wajah. Gue nggak tahu dia muncul dari mana, tiba-tiba aja udah di dalam pager, terus jalan ke arah teras. Pas gue teriakin dari jendela dapur, dia langsung lempar itu botol dan pas gue susul ke depan, dia udah lari ke jalan."
Ciri-ciri yang Viktor deskripsikan sama seperti orang yang mengikutiku beberapa hari yang lalu. Mungkin saja ia adalah orang sama, tetapi kembali lagi, aku belum memiliki cukup bukti.
Kami bertiga duduk di ruang tamu dan membicarakan kemungkinan siapa pelakunya, meskipun tidak ada di antara kami yang tahu pasti. Waktu menunjukan pukul dua dini hari saat kami memutuskan untuk kembali beristirahat, lelah menerpa, tetapi kedua mata ini menolak untuk terpejam.
Aku mengubah posisi menjadi terlentang, menengok sekilas ke arah Alison yang terlihat sudah berada di alam mimpi. Pandanganku beralih pada lemari di mana aku menyimpan berkas-berkas milik ayah. Keinginan untuk melihat kembali nama-nama yang ada di sana tiba-tiba muncul di benakku. Namun, kuurungkan niat itu karena Alison ada di sini, ia pasti akan bertanya macam-macam jika menemukanku bersama dokumen-dokumen itu.
Entah mengapa tiba-tiba aku berpikir jika ini semua berhubungan dengan kematian ayah. Hanya beberapa berkas yang baru aku cek, masih ada dua lagi yang tersisa dan aku harap di situ aku bisa menemukan titik terangnya.
Eric Kim. Om Roni mengatakan jika perusahaan itu sekarang berada di bawah naungan Eric Kim. Aku perlahan mengambil ponsel yang ada di nakas dan mencari namanya di internet. Foto-foto seorang pria dengan memakai berbagai macam setelan jas mahal berada di bagian teratas, Eric Kim berkulit terang, rambut yang sebagian sudah memutih dan tatapan mata yang sendu. Menurut Wikipedia, ia lahir di Korea Selatan lima puluh delapan tahun yang lalu. Beliau pindah kemari dan mulai berbisnis di sini pada tahun 1992.
Daftar perusahaan-perusahaan yang bekerjasama dengan beliau juga ada, tetapi tidak dengan Adhigana Sentosa---perusahaan milik ayah dulu. Jika memang perusahaan itu kini beralih menjadi miliknya, seharusnya juga tertulis di situ.
Aku melanjutkan melihat beberapa foto beliau di internet, ada dua foto yang membuatku terpaku. Eric Kim berdiri di samping dua orang pria dan mereka terlihat bahagia, saling berjabat tangan di sebuah ruangan bersama orang-orang yang terlihat bersuka cita juga. Salah satu pria itu tak lain adalah ayah. Jika kulihat dari foto itu, kurasa mereka dulu menghadiri sebuah acara peresmian karena Eric Kim memegang sebuah gunting berpita merah pria di sampingnya yang berwajah oriental juga memegang potongan pita berwarna keemasan.
Jadi Eric Kim dan ayah saling mengenal.
Aku membaca keterangan yang terdapat pada foto tersebut, Cabang Baru Kim Corporation Resmi Dibuka. Ada nama yang tak asing di sini, Edward Harris, kurasa itu nama pria yang memegang pita.
Om Edward itu orangnya keras, sama istrinya aja tega selingkuh, tapi mamanya Ian tetap aja setia. Makanya Ian cabut dari rumah orang tuanya udah lama, sehabis lulus SMA.
Kata-kata yang diucapkan Viktor terngiang di kepala. Edward Harris … nama belakang Sebastian adalah Harris, apakah mereka dari keluarga yang sama?
Aku harus mencari tahu tentang ini semua, tetapi apa Sebastian mau melihat wajahku setelah kejadian tadi?
---
Pagi hari datang begitu cepat, setelah mencari informasi mengenai Eric Kim semalam, aku hanya mendapat waktu tidur sekitar dua jam. Sekitar pukul enam, sepuluh potong panekuk yang masih panas sudah tersaji di atas meja bersama tiga gelas susu hangat. Aku melepas celemek dengan motif bunga matahari sebelum pergi membangunkan Viktor dan Alison.
Aku mengetuk pintu kamar tamu yang berada di samping tangga dan langsung mendapatkan jawaban. Viktor membuka pintu kamar dengan keadaan rambut yang berantakan dan hanya celana jin yang melekat di tubuhnya. Dengan mata terpejam, ia bersandar pada pintu seperti orang yang tidur sambil berjalan.
"Selamat pagi," sapaku dengan nada suara yang sengaja kunaikkan. "Sarapan udah siap, buruan bangun sebelum dingin."
"Gue udah bangun kali," kilahnya dengan bergumam.
"Tapi mata lo belum melek," balasku seraya pergi menjauh untuk membangunkan Alison.
Sahabatku yang satu itu sudah terlihat segar saat aku membuka pintu kamarku.Ia tersenyum saat melihatku. "Gimana kepala lo, masih pusing?" tanyanya.
Aku berjalan mendekatinya. "Udah enggak. Turun yuk, gue udah bikin sarapan."
"Repot-repot banget lo, kita bisa keluar buat beli kali."
"Biar hemat," jawabku singkat yang membuat Alison terkekeh. Ia sangat paham jika aku selalu berhati-hati setiap mengeluarkan uang.
"V udah bangun?"
"Kayaknya sih udah."
"Lo semalam bisa tidur?"
Aku menggelengkan kepala. "Enggak."
Alison memelukku dari samping. "Jangan takut ya, Nad. Gue akan selalu ada buat lo. Kapan pun lo butuh orang buat cerita, gue siap jadi pendengar, Nad. Gue enggak maksa buat lo cerita, tapi kalau lo merasa udah nggak sanggup, gue ada di sini."
Aku hanya mengangguk, tak sanggup menjawab sambil membalas pelukannya. Sekali lagi aku merasa beruntung bisa mempunyai sahabat seperti Alison.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring Down
Misteri / ThrillerKehilangan seorang memang tidak akan pernah mudah diterima, apalagi jika orang itu pergi dengan cara yang tragis. Selama bertahun-tahun ia berusaha mencari pelaku sekaligus motif di balik tragedi yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Tanpa disang...