[dare to love] pt. 2

2.4K 232 265
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Tin! Tin!

Lamunan Clara segera terbuyarkan dengan klakson sebuah taksi yang sudah berhenti di depan gedung ruang BEM. Clara yang memang sudah menunggu di luar sejak tadi pun langsung menghampiri taksi tersebut.

"Mbak Clara ya? Saya dipesen Mas Dimas suruh jemput," tanya supir taksi itu mengonfirmasi, sebelum Clara masuk ke dalam mobilnya.

Mendengar namanya saja membuat dada Clara terasa nyeri. Clara jauh lebih merasa bersalah ketika Dimas masih memperhatikannya seperti ini walaupun ia baru saja mengetahui kebenarannya.

"Iya, Pak," jawab Clara yang kemudian masuk dan duduk di kursi penumpang.

"Ke Apartemen Taman Melati ya, Mbak?" tanya sang supir taksi.

Lagi-lagi Clara hanya menjawab singkat, "Iya Pak."

Taksi tersebut pun melaju meninggalkan kawasan kampus yang sudah benar-benar sepi. Sama dengan kondisi di dalam taksi, senyap tanpa suara.

"Mbak, tadi yang mesenin taksi itu pacarnya ya?" tanya sang supir. Terdengar sok kenal memang, tapi mungkin si Pak Supir bertanya hanya untuk memecah keheningan. Pasalnya, lingkungan kampus UI memang sarat akan cerita horor.

"Bukan, Pak," jawab Clara.

"Ohh, saya kira pacarnya. Soalnya sampe minta nomer HP saya loh. Terus minta tolong dikabarin kalo Mbak udah sampai apartemen," jelas sang supir taksi yang membuat Clara menarik napasnya berat. Matanya yang menatap keluar jendela pun berulang kali mengerjap, berusaha untuk menahan air mata untuk merembes keluar dari sudut matanya.

"Plat nomer saya juga dicatet, sampe nomer ID saya juga. Baik banget ya, Mbak."

Clara masih tidak menjawab, tapi ia setuju dengan kalimat terakhir pak supir itu. Dimas terlalu baik. Dan dirinya terlalu bodoh.

"Pak, saya boleh ganti tujuan nggak?" tanya Clara yang akhirnya buka suara.

"Kemana, Mbak?"

"Saya mau pulang ke rumah saya aja, Pak. Di Menteng. Tapi jangan bilang Dimas ya, Pak."

Joy Is Our JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang