Bab 1

941 61 45
                                    

(Sudut Pandang Orang Pertama)
-Rachel-

(Sudut Pandang Orang Pertama)-Rachel-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~∆~

Sejak menginjak usia kecil, dari tatapan orang-orang, aku telah merasakan getirnya keadaan—mengenali kejelekan diri dalam setiap pandangan.

Rindu kasih sayang keluarga, namun senantiasa terpaksa tersenyum manis. Kasih sayang memang terasa langka bagiku, tetapi selalu kubungkus senyum bahagia di wajahku. Pada usia tujuh tahun, ketika keluarga ayah berkumpul, suasana keakraban keluarga seakan berubah menjadi debu kebingungan, lantaran mereka mengisyaratkan jika aku adalah seorang anak pulung yang harus terpinggirkan dari keluarga ini.

Senantiasa dianggap anak paling jelek, aku malah dikatakan lebih mirip ibuku ketimbang ayahku. Walau saudara dan saudariku berusaha melindungiku, namun hati ini penuh dengan iri, rasa yang aku tahan dalam kedalaman jiwa.

"Ah, Nek. Rachel adalah darah daging kita, jangan kau sia-siakan dia," ucap kakak sulungku, seorang perempuan jelita paling baik dengan sentuhan kesan tomboi yang menghiasi dirinya.

Kakak lelakiku, berbeda usia lima menit dariku, menyertainya. "Rachel adalah anugerah terindah kami, apa pun bentuk dan warna dirinya." Ia merangkulku, namun air liurnya malah menetes di rambut putihku, sungguh tak kusangka jika nasibku harus begini.

Nenek, yang sepertinya merasa terhina, lantas berteriak, "Kalian gila? Mencoba membujuk dengan rambut ubanan dan menyebutnya adik terbaik?" Dengan sepatu di tangannya, dia nyaris siap untuk menginjakkan barang itu di mulutku. "Kemari, Rahel!" serunya lagi.

"Apakah kalian tidak bisa menyebut namanya dengan benar? Ini adalah anakku, Rachel, bukan Rahel!" Ayahku langsung mendengus, menunjukkan kemarahannya, kakinya menendang seperti anak kecil yang sedang merajuk.

Tiba-tiba, sang ibu muncul, menyentuh lembut daguku, mengangkatnya hingga tatapan kami terhubung. Antara mata cokelat pekat dan iris yang kemerahan, ada rasa benci yang tidak terungkap namun tetap hadir dalam tatapan sang ibu. Meski demikian, ia tetap ibuku. Kasihnya terpancar, walaupun begitu senyap seperti kucing yang malu-malu.

"Jika dirimu merasa jelek, tunjukkanlah kehebatanmu dalam nilai!" teriaknya dengan penuh ketegasan, hingga bulu romaku bergidik ngeri, merasakan getaran kata-katanya. "Kau mengerti?"

"Baik, Bu," kataku, terintimidasi.

Dalam tatapan wajahku, seseorang mungkin akan merasa sangat kesulitan untuk mendefinisikan kejelekan atau keburukan yang ada. Bagiku, diriku adalah jenis bebek buruk rupa, entah kenapa, namun aku tak pernah merasa menjadi angsa yang elok. Aku memang bukan angsa cantik, melainkan seekor bebek buruk rupa yang sesungguhnya.

True Beauty ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang