Rasa sakit menusuk, merobek perutku dengan kasih dendam yang bergelegar.
Aku bertanya, bertanya pada siapa saja. Dalam keraguan, aku mempertanyakan Tuhan. Mengapa aku harus ditakdirkan seperti ini? Mengapa akan harus kembali kepadaNya ketika diriku akan meraih segala hal yang aku dambakan?
Namun, Tuhan hanya membisu, tak mampu menjawab keraguan-keraguan itu. Aku menangis, tetapi air mata tak mampu membasahi pipiku. Napasku terasa begitu berat, seolah-olah udara itu menyiksa paru-paruku dari dalam.
Mataku berkabut, pandanganku pudar. Aku merenung, memperhatikan sosok misterius di hadapanku. "Kamu, kamu rupanya mencintaiku sejak dulu, ya?" bisikku dengan lembut. Aku berusaha menemukan kata-kata yang pas, meski jiwaku sedang terluka dan nyaris mati.
Dia menatapku dengan mata berkerut, keraguan terpancar jelas di wajahnya. Kesedihan dan penyesalan mendalam, menorehkan bekas yang kelam atas tindakan-tindakan keji yang ia lakukan.
Aku tersenyum, menyentuh perutku. Darah mengalir dengan bebas dan tak terhenti. Aku tak bisa mencabut pisau yang tertancap, tetapi aku tidak bisa pula mengizinkan diriku bersimpati pada orang yang melakukan semua ini. Mataku sayu, pandanganku juga redup. Aku tak bisa melakukan apa pun selain tersenyum, memberikan kehangatanku.
"Jika aku diberi kesempatan bertanya, mengapa kamu melakukan ini dengan kejam?" tanyaku, mencoba menemukan celah dalam napas berat yang tercekik.
"Apa yang terjadi, mengapa ... mengapa kamu malah bertindak seperti itu?" bisiknya dengan suara yang bergetar. Napasnya terdengar dipenuhi oleh kegelapan, suaranya juga memekik ke telinga dengan getaran ketakutan. "Apa yang telah aku lakukan. T-tidak, ini bukan salahku. Ini adalah kesalahanmu yang tidak mencintaiku! Padahal, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku." Dia mulai menangis dengan histeris, suaranya bahkan nyaris tak terdengar.
"Begitu," ucapku dengan lembut. "Aku menerima cintamu, aku menerima segala apa yang kau katakan. Namun, jika aku tak sedap dipandang, akankah kau tetap mencintaiku?" tanyaku, ragu.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Aku menghela napas pelan. Menatap wajahnya dengan senyum yang tidak henti merekah. "Dahulu, aku memiliki wajah yang tidak menarik, jelek dan bertubuh gendut. Namun, berkat usaha keras dan doa yang tiada hentinya, aku berhasil menjadi seperti sekarang. Aku bisa merasakannya, membedakan antara diriku yang dulu dan sekarang. Aku mulai diperlakukan istimewa, mendapatkan kasih sayang dan cinta. Tetapi, pertanyaan terus menghantui pikiranku. Apakah kamu, tidak, apakah kalian akan tetap mencintaiku jika aku selamanya memiliki wajah yang jelek?"
Orang itu mulai mendekatiku. Telapak tangannya mengulur padaku, lalu menggenggam erat pisau yang masih menancap. Dalam tangisan pilu yang meredam derita, dia berkata, "Aku ... apa yang telah terjadi di sini, mengapa semuanya menjadi begini?!" Ia tampak terombang-ambing dan kebingungan menguasai hati, kehilangan akal sehat.
Tubuhku terhuyung, tersandung oleh kelemahan. Aku mundur, punggungku bersandar pada dinding di belakang, dan perlahan-lahan tubuhku tergelincir ke bawah. Kulitku mulai merinding, bulu halusku berdiri tegak karena rasa takut, sementara tanganku menepuk luka dalam yang menusuk ulu hatiku.
Aku hampir tidak bisa berkata-kata lagi, napasku melemah. Kusaksikan wajah orang itu, melihatnya untuk terakhir kalinya dengan mata yang memerah. Aku menangis, akhirnya air mataku mengalir. Namun, darah pun juga ikut mengalir dari sudut bibirku.
"Aku terjebak dalam cinta segitiga yang tidak pernah aku sangka-sangka akan membawaku pada malaikat maut. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi, aku menerima jika aku mati," ucapku. "Selebihnya, aku tidak menderita lagi."
"Salahmu jika kamu terjebak di dalam cinta kami! Aku sangat membencimu, bahkan, aku ingin melihat kematian dirimu sekarang juga!" teriaknya, pilu.
"Kuharap kau tak tertangkap, dan aku takkan menyalahkanmu. Ini memang benar, aku yang bersalah. Aku bodoh dan tidak mampu membaca perasaan seseorang. Maafkan aku karena tak menyadari bahwa kamu mencintaiku," ucapku dengan tulus, mengucapkan kata-kata itu dengan satu hembusan napas yang melintasi seluruh tubuhku, seakan menyapu gelombang kesakitan.
Orang itu menangis dengan histeris, kemudian lari menjauh. Ya, dia pergi meninggalkanku yang tidak berdaya. Aku berhenti merenungi luka ini, tak ada gunanya. Tidak akan ada yang menyelamatkanku. Setidaknya, aku tak mati sebagai sosok yang tidak menarik.
Aku terlahir sebagai seorang Albino, namaku Rachel, dan ini adalah kisah yang berakhir pada hari ulangtahunku.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Beauty Man
Fanfic"Lebih baik kamu mati saja, dasar jelek!" Dengan kejam, kata-kata pahit itu terlepas dari bibirnya, menggugah niatku untuk melepaskan diri dari belenggu jiwa. Aku lelah, sungguh lelah terhadap diriku yang dipenuhi oleh kesedihan ini. Terhempas sudah...