Tau Diri

139 2 0
                                    


Di sebuah cafe daerah bandung…

“Kemana aja kamunya tiga hari ini, main ilang aja ga ada kabar?” Hera, seorang gadis cantik keturunan jawa-medan dan masih memiliki keturunan jerman dari neneknya. Kini sang dewi sejuta umat itu sedang duduk di hadapanku dengan wajah tak bersahabat sama sekali. Dengan kaos biru ketat dan celana panjang putih dari merk Fendi. Sedangkan Louis Vuitton dengan warna senada kaos menjadi pilihan sneakers yang dikenakannya sore ini. Habis dari gym pikirku.

Aku bisa lihat juga sekilas ada perasaan jengkel bercampur rindu akhirnya bisa bertemu aku lagi, -mungkin. Tapi seperti biasa, Hera lebih suka memilih perasaan marahnya untuk mengungkapkan ekspresinya padaku.

“Ah, maaf… maaf aku kemarin balik Jogja, HPku ketinggalan di kontrakan, bukanya aku waktu itu dah pamit ya?” Dengan gaya bersalahku meminta maaf sambil jari-jari tanganku sibuk mengusap rambut belakang kepala yang tak gatal.

Baru sekitar jam empat sore tadi aku sampai kontrakan, hal pertama yang aku cari sudah pasti handphone. Bener aja, baru dihidupkan sudah banyak notifikasi masuk di aplikasi WhatsApp dan Line. Tiga ratus lebih pesan dari Hera, dan beberapa pesan dari owner cafe tempat aku kerja.

-RENDRAA! LO LUPA HARI INI HARI APA!! GUE GAK MAU TAU YAA!!! MAU LO DI PLANET MANA KEK, KENA CORONA, DIKUBUR SEKALIPUN, LO HARUS DATENG DI CAFÉ CHERRY JAM 5 PAS, GA BOLEH TELAT!!! KALO LO GA DATENG GUE BAKAL LOMPAT NIH DARI ROOFTOP!!!-. Itu pesan terakhir dari Hera setengah jam yang lalu. Jelas dia marah besar. Dilihat dari logat ‘lo-gue’ yang identik selalu dipakainya kalo lagi marah-marah sama aku atau lagi kumpul bareng teman-teman hedonnya. Akhirnya dengan keterpaksaan aku buru-buru pergi ke sini.

Melihatnya dengan wajah keselnya yang cemberut lucu, membuatku selalu gagal untuk tidak merindukannya. Apa ada yang spesial dengan hari ini?

“Buang aja tuh HP! Ga ada gunanya punya juga!” Dengan gaya kedua tangan terlipat di atas perut penuh emosi sambil membuang pandangannya.

“Iya, maaf-maaf, namanya juga lupa. Udah lama nunggu, Her? Mau pesen makan dulu apa?” Tanyaku basa-basi sambil memandangi sebuah gelas di atas meja yang isinya sudah berkurang setengah. Bisa ku tebak itu strawberry milkshake kesukaannya apabila dateng ke cafe ini. Pilihan minuman yang cukup lucu menurutku, kalau tau hampir tiap malam selalu ada botol yamazaki reserve di meja samping tempat tidur. Atau kalo enggak jadi satu-satunya barang dalam pelukan tidurnya.

“Ga perlu! Aku minta ketemuan sama kamu hari ini mau mastiin aja. Berapa lama lagi kamu berencana pindah ke sini. Nanti biar semua aku minta papa ngurusin kuliah mu juga di sini.” Mata indahnya sempat melirik ku sebelum akhirnya kembali membuang pandangan.

“Gak bisa dong, Her, aku di sana juga baru masuk kuliah, udah ada juga kerja sama dengan beberapa cafe.” Jawabku pelan sambil memperbaiki posisi kacamata dan rambut yang menghalangi pandangan. Dari kejauhan terlihat pelayan cafe dengan apron merah muda datang perlahan mengetahui kehadiranku.

“Permisi ada yang mau dipesan lagi, Kak?” Tanya pelayan cafe ramah sambil memegang note di tangannya.

“Em...”

“Udah, air putih aja, mbak!” Sahut Hera cepat menjawab pelayan yang berdiri di sampingnya. Pelayan ini terlihat kaget dengan nada suara Hera yang terkesan marah. Ehh, beneran emang lagi kesel sih dianya.

“M..mau pilih susu putih atau cokelat putih, kak?” mbaknya  cantik-cantik galak, mungkin itu yang ada di pikiran pelayan yang wajahnya mulai terlihat pucat saat ini, tapi menanyakan lebih detail lagi maksud pesanannya. Dia bener-bener ngulurin tangan ke kandang singa.

*Brak*

“Air putih! Denger gak sih, lo. Aer putih, bukan susu atau co... emh! Panggil manager lo kemari, emosi gue!” Makin ketakutan wajah pelayan itu mendengar gebrakan Hera di meja dan perintah untuk memanggil si pemilik cafe. Emh, kan, apa ku kata.

Senandung JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang