So I'm Goin'

126 2 0
                                    

Jadi orang yang gak enakan itu beneran gak enak! Sumpah! Lebih sering menjaga perasaan orang lain daripada perasaan diri sendiri. Lebih sering mengalah, padahal kita juga punya hak ngebela diri sendiri. Kita merasa gak enakan sama orang, tapi orang lain seenaknya sama kita. Kaya kondisi sekarang ini contohnya. Winas tidak memperdulikanku sama sekali. Begitu masuk ruang diskusi para dewan pengurus, dia langsung ambil tempat duduk sebelah Alvi dan Mila. Meninggalkanku sendiri yang tidak tahu apa-apa tentang rapat ini di seberang meja satunya. Kebayang kan rasanya, kalau udah mau ngebantuin orang terus orang itu gak tau diri. Dasar ketua kampret!

Hahh!! Ya udah lah ya, mungkin berkorban sesekali gak masalah sih, seenggaknya aku sudah berhasil menaklukan diri sendiri untuk tetap menghargai orang lain, sekalipun tidak dihargai balik. Tetap berlaku baik, meskipun tidak diperlakukan dengan baik. Kuncinya cuma satu, sabar. Harus memahami kalo tidak setiap orang bisa menghargai perasaan.

Mila senyum ke arahku dari seberang meja sana. Aku yang sadar hanya membalasnya sekilas.

"Sepertinya kamu dijual sama ketua ke mucikari." Heh!!, apa cewek di sampingku ini baru saja bicara denganku. Awalan percakapan yang bagus.

"Begitu kah?" Tanyaku memperjelas sambil memandangi cewek di sampingku yang sedang sibuk memasukkan masker ke dalam tas kecilnya. Manis juga ini anak. Rambut dikuncir kuda, menyisakan poni depan yang membingkai di setiap sisi wajahnya, dan juga tambahan kacamata bulat besar tanpa lensa sebagai aksesoris yang membuatnya semakin terlihat lucu. Tingginya mungkin tak lebih dari dadaku, namun terlihat ideal dengan bentuk tubuhnya.

"Hampir semua orang tahu track record wanita satu itu. Sebelahnya juga tuh si Alvi. Jangan tertipu dengan muka polosnya. Kadang aku bingung sama ketua, kenapa dia suka dengan cewek kaya gitu sih, heran akunya." Ekspresi kesalnya terlihat lucu, aku bisa merasakan ada cemburu dari nada bicaranya. Lima puluh persen bisa aku pastikan dia ada rasa dengan Winas.

"Oh, Terus kalo kamu siapa?" Tanyaku padanya. Serius, aku bukan tipe orang yang ingin berkenalan dengan orang lain di manapun itu sebelumnya. Apa lagi sedang acara rapat kayak gini.

"Hahh, aku ngomong sama kamu dari tadi, tapi bahkan kamu gak tau siapa aku?" Aku hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaannya. Wajahnya yang terlihat heran sekaligus kesel membuatku menerka apa yang sedang diumpatnya dalam hati, "nih cowok bego apa gimana sih, masak dari tadi jalan ke sini bareng bertiga gak tau aku siapa." Kurang lebih begitu lah kira-kira. Salahkan Winas yang tidak memperkenalkannya sejak awal pertemuan padaku.

"Nayra, semester lima jurusan musik juga, satu angkatan sama ketua Winas. Konsentrasi ku di flute. Aku sekretaris di BEM musik. Harusnya kamu tau dong, masa sama kakak angkatan sendiri gak tahu tuh gimana." Ucapnya sambil sibuk mencari halaman yang kosong dalam buku catatannya di atas meja.

"Heh, aku kirain semester awal sama sepertiku, ternyata sudah semester lima tho." Muka imut-imutnya bikin salah fokus, astaga Ren... Ren.

"Kamu mau bilang kalo aku gak cocok gitu udah semester lima!" Widih nge-gas, agak galak juga yah ternyata, si nona imut berkacamata satu ini.

"B-bukan, bukan gitu. Aku kira kita seangkatan, lihat 'kakak' itu masih kelihatan imut, lucu dan belum setua semester lima, maksud aku gitu." Jujur, ini spontan. Bukan maksud mau ngegombal atau apa, cuma takut dia makin tambah marah kalau nggak segera aku jawab.

Wajahnya berubah senang dan kaget dalam satu kesatuan. Lucu lihatnya, "cih, tukang gombal juga ternyata, mau jadi paket komplit sama wajah gantengmu itu." Eh! aku paham kenapa tiba-tiba wajahnya berubah tegang dan nampak merona merah. Dia bilang aku ganteng. Senyumku tak bisa dihindarkan kali ini begitu melihat gelagat salah tingkahnya. Aku harap ganteng itu bukan sebuah dosa. Thanks to Dame, yang sudah merubah gaya rambutku.

Senandung JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang