Awal Baru

126 2 0
                                    

"Kamu sudah yakin sama keputusanmu ini?" Tanya Papa memantapkan kembali jawabanku lagi. Lukman Afrandi adalah ayah Hera. Seorang pengusaha super sibuk yang gila kerja, sehingga keluarga pun menjadi nomor ke sekian baginya. Orang yang selalu aku panggil Papa. Karena sejak dulu Hera menginginkan aku memanggilnya sama dengan cara dia memanggil orang tuanya. Dan itu menjadi kebiasaanku sampai sekarang.

Sekitar pukul tiga pagi tadi ada satu pesan masuk di antara puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Hera. Pesan masuk ini dari Papa yang memintaku mengangkat videocall darinya satu jam lagi. Bukan karena aku sengaja tidak membalas pesan-pesan dari Hera dan bukan berarti juga aku ingin membalasnya.

Hanya saja hp mati karena kemarin belum lama di charge setelah aku balik ke kontrakan dan sebelum pergi ke cafe. Belum ada lima menit dan baterai baru terisi beberapa persen. Setelah kejadian itu aku langsung cari hotel dan tak ingin kembali lagi ke kontrakan. Mengingat kalau kontrakan itu miliknya dan Hera sudah pasti akan ke sana juga nantinya.

"Yaa, Aku yakin, Pa. Aku kenal Hera sudah lama, dan menurutku kali ini sudah keterlaluan." Ucapku setengah malas membahasnya lagi.

"Dari laporan kamu tadi, memang sikapnya sudah keterlaluan sih, Ren. Hehh... Ini salah Papa juga karena jarang ada untuk anak itu. Papa juga kaget waktu lagi meeting tadi tiba-tiba dia telefon sambil nangis-nangis, katanya kamu pergi ninggalin dia dan minta Papa buat bujuk kamu supaya nggak pergi." Aku hanya tersenyum mendengar keluhan Papa tentang rengekan anaknya. Begini lah salah satu cara Papa membuatku merasa harus bertanggung jawab membantunya. Tapi tidak untuk kali ini.

"Aku juga ingin dengan cara aku pergi seperti ini, itu bisa membuatnya belajar menghargai orang lain. Paling tidak dia sadar, kalau nggak semuanya bisa selalu dia beli dengan materi." Double kill!! Aku tak ingin memperlihatkan ekspresi menggurui di hadapan Papa. Meski tujuanku salah satunya mengingatkannya juga. Jadi aku sebisa mungkin mengatakannya dengan intonasi nada santai dan datar seperti biasa.

Benar saja, ekspresinya berubah tersentak sesaat sebelum kembali bisa mengendalikannya. "Bisa dibilang ini karma Papa. Dulu Papa memperlakukan Mamanya Hera juga sama dengan cara anak itu memperlakukanmu. Bedanya dia pergi tanpa memberi Papa kesempatan berubah. Sedangkan kamu, masih mau untuk memberikannya waktu berubah." Merasa menyesal? Mungkin sedikit. Terlihat di kelopak matanya yang meredup lelah dan tarikan napasnya yang dibuang berat.

"Oke lah kalau itu sudah jadi keputusanmu. Tapi tolong, jangan jauhin dia, Ren? Papa tahu kamu kecewa, tapi Papa juga takut dia terlalu depresi dengan kepergian kamu kali ini."

"Kalau untuk saat ini sepertinya nggak dulu, Pa. Mungkin lain waktu." Jawabku malas. Ayah sama anak sama-sama pemaksa, jadi harus tegas gini.

"Emm, oke lah Ren kalo gitu. Papa cuma bisa berharap yang terbaik buat kamu, kuliah kamu, usaha kamu. Kalo butuh bantuan jangan segan-segan hubungi Papa. Kalau gitu Papa mau lanjut kerja lagi." Senyumnya terlihat dipaksa untuk merelakan hasil kalah negosiasi denganku.

"Iya, Pa. Jangan lupa buat minum vitamin dan tidur. Sepertinya Papa juga perlu istirahat." Hanya dibalasnya dengan anggukan dan senyuman penuh terimakasih, sebelum akhirnya Papa mengakhiri panggilan.

Entahlah, perubahan situasi ini akan membawaku kemana nantinya, biar Tuhan yang menentukan pada akhirnya.

Aku mencoba membaca beberapa pesan dari Hera, penuh dengan ancaman dan permintaan ingin bertemu.

Hera: Aku gak akan mau makan kalo kamu masih marah.

Hera: Kamu ke mana? Kenapa gak ada di rumah.

Hera: Rendra. Kamu di mana?

Hera: Ren, aku tadi kayaknya udah kelewatan. Gimana kalau kita ketemu dan bahas masalah ini lagi?

Hera: Rendra, please dong jangan giniin aku. Angkat telfonnya.

Senandung JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang