13 - can't be together

187 53 1
                                    




changbin memperhatikan rumah di hadapannya kini. rumah sederhana dengan pekarangan yang subur dan asri. terlebih, kini ada banyak karangan bunga yang datang, mengucapkan bela sungkawa pada si pemilik rumah.

"bang changbin?"

pemuda seo itu berdeham, agak mengerjap ketika mendapati felix baru saja keluar, menggiring tamu duka untuk pulang.

"hai, lix." sapa changbin singkat.

felix menarik senyum simpul, "gak nyangka lo beneran dateng. gak kesasar kan?"

changbin tersenyum geli, menggeleng pelan. felix ngga tau apa yang pernah ia lakukan jauh sebelum hari ini.

"oh ya, chaewon——" kalimat changbin sengaja menggantung, membiarkan felix yang menjawab.

"masih di pemakaman. dia belum mau pulang."

"arah pemakaman ke mana?"

"keluar gang ini belok kanan, daerah tebing gitu."

"oke, makasih ya."

changbin menepuk bahu felix sesaat, sebelum ia beranjak pergi ke pemakaman.

perjalanan ke pemakaman itu sedikit ramai dengan beberapa kerabat keluarga chaewon, dan tamu yang masih tinggal untuk saling berbincang. changbin sempat membungkuk menyapa ketika berpapasan dengan paman lee——ayahnya felix dan chaewon.








sampai di makam. sepi. cuma ada gundukan dengan sebuah tunas yang ditanam. penuh karangan bunga, dan sebuah foto figura yang changbin kenal adalah ibunya chaewon.

sementara, gadis rapuh itu berdiri di sana. diam merunduk menatap sendu figura. ngga melakukan apapun. persis seperti yang dikatakan felix tadi.

pemuda itu menghela napas panjang. kakinya melangkah sampai di makam. memberi penghormatan terakhir kepada ibu kim.

kemudian berbalik, perlahan mendekati chaewon yang masih ngga bergeming. setia berdiri tanpa nyawa di sana. wajahnya sembab, matanya bengkak dengan bekas airmata yang mengering.

"chae,"

panggil changbin pelan. ia berdiri di hadapan chaewon, berusaha meraih tangan mungil yang tergelantung lemah.

tapi chaewon langsung menepisnya meskipun ngga menatap wajah changbin sama sekali. karena sejak awal, dia udah menyadari kehadiran changbin lewat bau parfum citrus khas changbin.

"chaewon, lo boleh sedih. lo boleh nangis. kesedihan lo jangan pernah ditahan sendirian." kata changbin, masih ngga menyerah. kedua matanya tetap menatap chaewon yang tatapannya kosong.

"lo boleh luapin semua sedih——marah lo. tapi inget chae, lo gak sendirian." changbin kembali meraih tangan chaewon. sekedar menyentuhnya, ngga sampai digenggam kuat. "lo masih punya om lee, felix, temen-temen lo, dan gue. kita semua akan nemenin lo, biar lo ngga kesepian lagi."

kalimat tadi membuat chaewon mau melirik changbin, lalu dibuatnya terkekeh dingin.


"kita udah gak ada, bin. kita udah lama selesai." ucap chaewon datar, tapi menusuk.


"chae tapi——"

"harusnya lo gak usah ke sini, bin. gue gak mau kena masalah lagi." potong chaewon cepat, menarik kembali tangannya yang tadi disentuh changbin.

dia udah ngga peduli lagi changbin mau ngapain. changbin mau bersama siapa. atau masalah changbin. chaewon udah berusaha ngga peduli. chaewon udah sakit hati.

"chae gue dateng buat ibu, lho? gue harus kasih penghormatan terakhir untuk beliau."

"sekarang udah kan? lo bisa pergi sekarang, bin."

"chaewon, please. I just wanna by your side."

"but your existence could make me hurt. keberadaan lo di sini bikin gue dalam situasi yang ngga aman. emang dari awal, harusnya kita gak usah pernah memulai apapun."

"chae apasih? gak bakal ada orang yang berani nyakitin lo kalo lo ada di samping gue." changbin jadi agak marah, dengar tuturan chaewon yang seakan menyesal akan hubungan mereka.

chaewon menoleh, kini menatap changbin yang mulai mengeruh karena emosinya tersentil.

"ada kok, bin." jawab chaewon melemah, "malahan, ada banyak orang yang mau ngelukain gue ketika gue masih sama lo."

si gadis terkekeh pelan, "changbin, lo harus kasih tau secepatnya ke keluarga lo. kasih tau mereka semua, ibu gue udah meninggal. dan gue udah putus dari lo——seperti yang mereka pengen dari awal."

"a-apa?" changbin langsung meruntuh, "keluarga gue?"

"ya, keluarga seo yang terhormat. gue mengatasnamakan ibu gue, berterima kasih atas bantuan kalian selama ini. keluarga lo banyak bantu ibu, kasih barang-barang baru dan bagus. sampe ngelempar uang——semata biar kita bisa pisah."

"c-chae, gue gak tau ini sebelumnya ..."

"ya karena itu gue kasih tau." ucap chaewon melirik changbin yang kini tertunduk. "lo harus berkunjung ke rumah keluarga lo secepatnya, bin. lo harus tau kebahagiaan mereka sekarang.

"tapi yang bikin gue bahagia cuma elo, chaewon!" seru changbin marah, meraih sebelah tangan si gadis yang tersentak kaget.

"c-changbin lepasin..."

"gak!" bentak changbin ngga mau didengar, "lo dari dulu suruh gue berbakti dengan orangtua gue agar gue bahagia. oke, gue turuti kemauan mereka. gue mutusin lo cuma buat mereka. tapi habis itu apa chae? gue menderita harus pisah sama lo."

"lo pikir gue nggak menderita ada di samping lo?" tanya balik chaewon, ikut tersulut. "banyak cemoohan, bilang gue gak pantes buat lo. gue cuma mau harta lo, dan masih banyak lagi. dan lo cuma bilang 'biarin aja'. gue udah coba bin tapi apa? gue gak sekuat itu. gue lemah. gue takut. bahkan berada di samping lo ngga menjamin gue aman, changbin."

chaewon merunduk, menyembunyikan tangisnya. dia ini memang tipe orang yang marah-marah lalu berakhir menangis. dan chaewon ngga mau changbin melihat airmatanya turun lagi.




"lo ... gak bahagia selama bareng gue, chae?"



pertanyaan itu disuarakan tanpa daya. changbin masih terinterupsi oleh pengakuan dari chaewon tadi.

pengakuan yang melukai harga diri dan juga hatinya.



"rasa bahagia itu pasti ada bin. tapi kalo lo mau liat, luka yang gue dapet lebih banyak, bin."

"bahkan ngalahin rasa cinta gue ke elo? iya gitu?"

chaewon jadi terdiam. terkunci dalam tatapan changbin yang menatapnya tajam, namun lemah. tatapan yang selalu membuatnya jatuh kembali ke pelukan changbin, dulu.

"maaf, bin. kecewa gue banyak. lo boleh pergi sekarang."

setelah mengatakan itu, chaewon berlalu. meninggalkan changbin yang berbalik mengikuti kepergian si gadis.

sementara si pemuda kini menarik napas panjang. mengeluarkannya perlahan, membuang semua emosinya kini.




"jangan munafik, chae. I know you love me too, right?" seru changbin kepada chaewon yang berhenti berjalan.




diam-diam chaewon menggigit bibirnya, menahan isak yang bisa saja meledak kalau ia mengeluarkan suara. gadis itu meremas pakaiannya.

deru ombak pantai yang letaknya tepat di bawah tebing ini jadi pengisi ruang bisu di antara keduanya. angin yang bertiup kencang menampar changbin, menyadarkannya kalau sudah ngga ada yang bisa diperbaiki lagi.














"makasih udah berkunjung."

let us go. ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang