Soora menyipitkan mata ketika sinar matahari itu sukses mengenai matanya yang beberapa hari ini tidak melihat cahaya matahari. Terhitung hampir tiga hari gadis itu terduduk lalu meringkuk di ruang duka. Saat malam pun hanya lampu dengan sinar redup yang menjadi temannya. Kalau saja anak lelaki bermata rubah ini tidak mengajaknya keluar, mungkin Soora akan lupa bagaimana bentuk dan rasa sinar matahari itu.
Tapi sesungguhnya senyum anak lelaki disampingnya ini jauh lebih indah dari sinar matahari yang menerpa wajahnya.
Matanya juga cantik, persis seperti rubah.
Hanya saja bekas air mata di pipinya sedikit membuat wajahnya nampak tak karuan. Hidung dan pipinya memerah, matanya sembab, dan saat ia menarik nafas terdengar suara sesenggukan. Anak itu sudah tidak menangis tapi sepertinya sedang menyembunyikan tangisnya.
Tadi saat Soora tak sengaja menabrak anak lelaki itu, ia langsung membawa Soora ke sini. Ke atap rumah duka.
"Kalau masih mau menangis, menangis saja." tegur Soora pada anak lelaki yang sepertinya sebaya dengannya.
Anak itu meliriknya sebentar lalu seperti teringat kembali sesuatu yang dia lupa, ia segera menangis. Menangis kencang, meraung, sesenggukan, dan memukul-mukul dadanya.
Soora hanya membiarkan anak itu karena ia juga melakukan hal yang sama beberapa hari lalu. Saat anak itu jatuh terduduk, Soora mengikutinya. Diusapnya punggung anak lelaki itu seraya ia berkata. "Kamu tadi tanya apa aku sedih kan?"
Anak itu mendongak lalu mengangguk. Lucu sekali. Apalagi pipinya yang gembul itu.
"Lalu kamu mengajakku pergi ke tempat di mana kita tidak perlu merasa sakit lagi. Apa ini tempatnya?"
Anak itu lagi-lagi mengangguk. "Di atap kita bisa menangis dengan kencang, berteriak, atau melakukan apapun tanpa menganggu orang lain."
"Kamu kehilangan siapa?" tanya Soora sembari mendudukkan dirinya di samping anak itu yang tangisnya mulai mereda.
"Ayahku,"
Lalu hening. Mereka berdua memilih menyipitkan mata menatap langit cerah di atas sana. Langitnya cerah, berkebalikan dengan perasaan mereka yang sedang bermuram durja.
"Kalau kamu?" tanya anak lelaki itu. Kali ini ia menatap lawan bicaranya dengan benar. Tadi saat pergi ke atap ia hanya bisa menatapnya sekilas karena sibuk menahan air matanya. Lalu saat sampai di atap ia justru sibuk mengeluarkan semua air matanya yang sejak tadi ia tahan. Padahal yang mengajak gadis itu pergi ke atap adalah dirinya.
"Ibuku."
"Aku juga sudah tidak memiliki ibu."
"Maksudmu kamu, yatim piatu sekarang?"
"Iya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Hati Soora sedikit terenyuh ketika anak lelaki itu menjawab dengan nada sendu.
"Aku tidak tahu, setelah ini siapa yang akan menjadi rumahku." lanjutnya seraya menghela nafas.
"Kamu sendiri."
"Maksudmu?"
"Kalau kamu tidak memiliki rumah setelah ini, maka kamu sendiri lah yang akan menjadi rumahmu. Di dunia ini mereka yang bersama kita akan datang silih berganti, ada yang menetap, ada juga yang memilih pergi. Yang memilih menetap itu suatu saat juga akan pergi ketika Tuhan mengambilnya. Ketika saat itu datang maka kamu hanya punya dirimu sendiri untuk bertahan. Jangan terlalu bersandar dan percaya pada orang lain. Kamu hanya punya dirimu sendiri, percayalah padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Winter Comes the Sunshine Freezes | Kim Sunoo
Fanfiction[COMPLETED] "Maaf, aku tak bisa menyinarimu lagi." "Lantas jika berdua menyakitkan? Apakah sendiri lebih baik?" Dosa masa lalu keluarga mereka membuat mereka dipaksa menanggung beban itu. Noda di atas kain putih jelas tidak bisa dihilangkan dengan m...