"Jalang sialan!"
Sunghoon sedikit terlonjak dari tempatnya duduk ketika Ayahnya mengumpat. Sang Ayah hampir tidak pernah menunjukkan emosinya di depan Sunghoon dan ia merasa kali ini suasana hati Ayahnya benar-benar buruk.
Suasana di dalam mobil kian memanas ketika sang Ayah memutar arah secara tiba-tiba. Tidak sampai di situ, Ayahnya bahkan memukul setir mobil dengan kuat.
Tidak seperti adiknya yang selalu dijemput sopir, sebisa mungkin sang Ayah akan menyempatkan waktu untuk menjemput Sunghoon. Terutama saat Sunghoon selesai berlatih ice skating seperti sekarang.
Sunghoon tahu ia diperlakukan berbeda dengan sang adik oleh Ayahnya. Tetapi Sunghoon bisa apa? Ia hanya boneka Ayahnya. Membantah sedikit saja mungkin luka lebam akan ia dapatkan.
"Ayah ada apa?" tanya Sunghoon ragu.
Ayahnya tidak menjawab hingga mereka berhenti di sebuah rumah sederhana dengan pagar besi yang telah berkarat. Ayahnya turun dari mobil lalu membuka bagasi dibelakang untuk mengeluarkan tongkat golf yang biasa ia gunakan tiap akhir pekan bersama rekan bisnisnya.
"Diam disini!" tegas sang Ayah membuat Sunghoon segera mematung di tempatnya.
Ayahnya masuk ke dalam rumah sederhana itu dengan mengoyak pagarnya. Pagar besi itu sudah berkarat dan kekuatan Ayahnya semakin bertambah ketika ia sedang marah seperti saat ini.
Sunghoon melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika Ayahnya mencongkel jendela depan rumah itu. Tubuh Sunghoon bergetar melihat hal itu, Ayahnya jelas bertindak kriminal dan ia adalah saksi matanya.
Sunghoon meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Ia telah mencari kontak panggilan darurat. Tinggal menekan tombol hijau maka ia akan tersambung, hanya saja Sunghoon tidak cukup berani untuk melaporkan Ayahnya sendiri.
Tak lama setelah Ayahnya masuk suara benda pecah terdengar disambung oleh teriakan anak kecil yang menggema di dalam rumah itu. Tangis anak itu semakin kencang ketika suara gedebuk menjadi-jadi.
Ini tidak beres. Entah mengapa mata Sunghoon memanas membayangkan kejadian di dalam rumah itu. Ia tahu itu pasti ulah Ayahnya.
Lalu seorang anak kecil mungkin seusia adiknya keluar rumah dengan mata sembab. Anak itu menangis sembari berlari menuju panti asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumah yang dimasuki Ayahnya itu.
Butuh waktu beberapa menit sampai sang anak kembali sambil membawa seseorang. Sunghoon menajamkan penglihatannya di tengah penerangan jalan yang remang-remang.
"Heeseung?" gumamnya saat mengetahui bahwa seseorang yang di bawa sang anak adalah temannya.
Saat Heeseung masuk keadaan di dalam rumah terdengar semakin kacau.
"Paman berhenti!" teriak Heeseung dari dalam rumah.
"Ayah! Ayah jangan mati!"
BUGH!!
"Paman akan dipenjara jika bertindak lebih jauh!"
Sunghoon masih duduk gemetar di dalam mobil seraya menggenggam ponselnya erat.
Apakah berdosa bagi seorang anak ketika ia melaporkan Ayahnya sendiri pada polisi?
Buru-buru Sunghoon menjauhkan kembali ponselnya. Ia berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya perkelahian antar orang dewasa seperti yang Ayah dan Ibunya biasa lakukan.
Ayahnya selalu berkata bahwa seorang anak tidak boleh mencampuri urusan orang dewasa terutama kedua orang tuanya.
Andai saja saat itu Sunghoon tahu bahwa kalimat itu membawa malapetaka, maka ia akan benar-benar menekan tombol hijau di ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Winter Comes the Sunshine Freezes | Kim Sunoo
Fiksi Penggemar[COMPLETED] "Maaf, aku tak bisa menyinarimu lagi." "Lantas jika berdua menyakitkan? Apakah sendiri lebih baik?" Dosa masa lalu keluarga mereka membuat mereka dipaksa menanggung beban itu. Noda di atas kain putih jelas tidak bisa dihilangkan dengan m...