Ia segera menghampiri dan memegangi gadis itu agar tak jatuh. "Hana, jangan ngelakuin hal aneh-aneh! Cepetan turun!"
Hana mengelakkan tangan Justin yang memeganginya. "Aku yang jadi penyebab kemarahanmu, kan. Jadi, sekarang aku mau bunuh diri. Aku capek membujukmu. Nanti kalau aku nggak ada, hidup Om akan tenang seperti sebelum mengenalku. Dan Tante Alice juga akan berkurang musuhnya," ujar Hana yang posisinya sudah berdiri di atas kursi dekat jendela. Tinggal lompat saja.
Justin langsung saja mengangkat tubuh Hana dan mendudukkannya di kursi. Kini kedua tangannya mengunci pergerakan gadis itu agar tak bisa pergi.
"Kamu bunuh aku dulu, baru bisa kamu bunuh diri," bisik Justin dengan geram.
Hana malah tersenyum mendengar perkataan Justin. "Om pikir otakku sedangkal itu, sampai mau bunuh diri. Yang benar saja," balasnya tersenyum jahil.
Justin merasa kali ini dirinya jadi korban penipuan. "Kamu mempermainkanku?"
"Ya, maaf," responnya dengan wajah memelas.
Justin hendak beranjak dari posisi itu, tapi Hana dengan cepat menahan. Kedua tangannya malah ia lingkarkan di pinggang cowok yang kini ada di depannya, membuat wajah keduanya berjarak semakin dekat.
Ia tak tahu kenapa sikapnya jadi begini pada Justin, tapi hatinya tenang. Tak ada rasa cemas dan takut. Apalagi merasa terancam.
"Mungkin saat ini aku nggak mencintaimu, tapi ... akan," bisiknya. Kata kata yang sebelumnya mustahil ia katakan, sekarang malah dengan lancarnya itu terucap. Apa ia berkhianat pada perasaan dan janjinya di awal. "Entah besok, lusa, atau ..."
Haruskah orang seperti Justin punya kebiasaan buruk seperti ini. Selalu menghentikan perkataannya dengan sebuah ciuman. Apa dia tak tahu kalau jantungnya bisa saja berhenti berdetak jika dicium tiba-tiba begini. Kasih kode, atau apa gitu.
"Kenapa?" tanya Justin setelah menghentikan ciumannya dan melihat wajah cemberut Hana.
"Lain kali kalau mau menciumku, kasih kode dulu," ujarnya mengingatkan.
"Aku nggak mau," balas Justin. "Aku lebih suka yang tiba-tiba. Seperti hadirnya kamu di kehidupanku yang juga tiba-tiba."
Ayolah ... ia hanya manusia biasa dari kaum hawa dengan segala kelemahan. Terlebih mendapatkan sikap manis ini dari Justin ... membuat jiwanya terasa meleleh. Ingin tersenyum manis, tapi takut kalau Justin malah menertawakan sikapnya. Jadi, rasa bapernya ia tahan saja.
"Kenapa diam?"
Hana menggeleng. "Hanya heran dengan emosimu yang bisa separah itu," jawabnya.
"Maaf," ucap Justin. "Padahal aku berusaha untuk tak memikirkannya, tapi rasanya itu terus saja merasuki pemikiranku. Kamu bilang punya kekasih, kamu bilang kalau aku tak akan pernah bisa memilikimu, kamu bilang hatimu bukanlah untukku. Berhari-hari aku mencoba menahannya, tapi tak bisa. Aku jadi emosi dan ..."
"Boleh aku nanya sesuatu?" tanya Hana.
"Ya."
"Om sakit?"
Justin menggeleng dengan wajah yang ia alihkan dari Hana. Kemudian melepaskan gadis itu darinya.
"Overthinking," lanjut Hana.
Justin tak menjawab, tapi dilihat dari reaksi dia saat mendapatkan pernyataan dari Hana, bisa membuktikan kalau itu memanglah benar.
"Om ..."
"Sudah tahu jawabannya, kan. Tak perlu ku jawab lagi," responnya.
Ia dengan cepat beranjak dari posisinya dan memilih untuk duduk di sofa. Bersandar dengan kedua matanya yang ia pejamkan seolah sedang memenangkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua sang Billionaire
Roman d'amour[TAMAT] Ebook tersedia [Session 2 sudah ada, ya.] Tiba-tiba Hana bangun, mendapati seseorang yang tidur bersamanya. Tentulah itu membuatnya kaget. Kesadarannya masih utuh dan ia meyakini kalau dirinya belum menikah. Tapi kenapa ada orang lain yang t...