"Pah...?" ujar seorang pria dewasa lirih. Kakinya melangkah membawanya ke dalam sebuah ruangan.
"Kurang enam menit, kamu sampai dalam sembilan menit. Harusnya lima belas menit kalo kecepatan mobilmu 40 kilometer per jam itu artinya kamu ngelewatin batas kecepatan yang Papa suruh." matanya memicing mengintimidasi pria yang baru datang tersebut.
'Telat salah cepet salah.'
"Biar cepat sampai Pah."
"Apa kamu setiap berkendara selalu begini? Terburu-buru? Kalo sama Arvie juga iya?! Kamu mau ngebahayain cucu Papah?!"
"Bukan begitu-" belum selesai berucap, kalimatnya sudah terpotong terlebih dahulu.
"Sudahlah, awas saja kalo ketahuan kamu ngebut bawa Arvie!" ancam pria yang sudah berumur itu, dia Opa Gibran.
Yang diacam hanya menunduk dan mencebikkan bibirnya, "Iyaa.., Papah ada apa panggil-"
"To the point, kamu maksa Arvie lagi buat ikut kamu syuting, iya?" tanya Opa pada putranya yaitu Sebastian.
'Tahu dari mana Papah? Kalo tahu Arvie kabur bisa ngamuk inih.'
"Gausah sok bingung, Papa juga tahu Arvie kaburkan."
Sebastian yang mendengar itu bertambah keringat dingin. Apa mungkin anaknya kabur ke sini. Jika iya, tumben sekali dia kabur ke rumah Opanya.
Ketika akan menjawab, Sebastian kembali didahului oleh Opa Gibran, "Huft, kamu bisa tidak untuk bersikap tidak egois. Stop nurutin permintaan penggemarmu dan para jurnalis itu. Arvie itu putramu Bas, kamu pikirin perasaan dia. Kamu lupa Arvie hampir depresi dulu karna kamu terus aja maksa dia ikut syuting gajelas kamu itu. Bahkan saat itu Arvie masih umur enam tahun... tapi sudah bolak-balik ke psikiater karna keegoisanmu. Istrimu juga ikut meninggalkanmu karna kamu yang sangat memprioritaskan karirmu itu."
Opa Gibran kembali menghela napas, dia melihat kearah putranya itu. Sebastian masih diam berdiri, arah pandangan matanya tertuju pada tumpukan berkas di atas meja, berusaha mengalihkan matanya dari sorot intimidasi sang Ayah.
"Papa cuma minta kamu terusin bisnis keluarga kaya abangmu itu. Papa hanya ingin kamu punya waktu lebih buat Arvie, seenggaknya kalo di perusahaan ada orang yang bisa nge-handle kerjaan kamu, bantu-bantu kamu daripada nerusin karir kamu itu, bukannya Papa egois Bas.. tapi sekarang hidup kamu bukan cuma punya kamu, tapi milik Arvie juga. Papa tau jadi aktor itu cita-cita kamu, tapi masalahnya cita-citamu itu hampir ngerusak hidup anakmu, ngebuat anakmu jadi ikut terbebani. Pikirkan lagi, Arvie masih remaja yang emosinya belum terkontrol baik, jangan bebani dia dengan keegoisan mu itu."
Jelas panjang lebar Opa Gibran, bukannya menghakimi keputusan sang putra dalam memilih karirnya, hanya saja keegoisan sang putra dulu yang membuat Arvie, putranya sendiri kehilangan masa kecilnya. Dan sekarang, ia ingin mengulanginya lagi? Opa Gibran tidak akan membiarkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Your Father Was a Superstar
Teen FictionIni hanya sebuah kisah antara anak dan ayah. Sang anak yang suka memberontak tidak suka diatur dan seorang ayah yang menjaganya seperti anak kecil. Ditambah dengan gelar sang ayah yang seorang aktor terkenal menambah bumbu manis pahit dikisah mereka...