Senin, hari yang sibuk bagi sebagian orang. Begitu juga dengan Morgan yang bekerja di sebuah perusahaan majalah entertainment. Dia sudah berangkat bekerja sejak pukul delapan pagi, sedangkan aku baru bangun pukul sembilan.
Sebuah pesan tertempel di lemari pendingin. Mengatakan bahwa Morgan sudah menyiapkan sarapan untukku dan aku bisa menghangatkannya di microwave.
Setelah sarapan, aku berniat untuk melakukan kebiasaan lari pagiku, walaupun sudah terlalu siang untuk itu. Tapi saat mengingat kalau-kalau aku bertemu dengan Mr. Eldrich lebih baik aku urungkan niatku dan berolahraga dirumah.
Bel pintu berbunyi saat aku baru saja menyelesaikan 30 kali squats. Kuhampiri pintu dan membukanya.
"Wow," gumamnya. Luke menatapku dengan tatapan super mesum dengan melirik dadaku.
Kupelototi dirinya dan mengambil jaket yang kugantungkan di dekat sofa. "Mau apa kau ke sini?" tanyaku sambil menaikkan kancing hingga ke atas.
"Aku hanya ingin menemuimu," jawab Luke.
Aku tidak menanggapinya sama sekali dan kami hanya saling bertatapan di depan pintu.
"Kau tidak menyuruhku masuk?" Luke melirik ke dalam.
"Tidak." Kulipat kedua lenganku di dada.
Luke kemudian mendorongku masuk dan menutup pintu dengan kakinya. Kudorong kembali Luke hingga dia tersudut di pintu. Kutatap wajahnya sesaat dan membuatku jadi lengah karena dia berhasil membalikkan keadaan.
Tubuh Luke berada didepanku yang tersudut dipintu. Satu tangannya berada di bahuku dan satunya lagi berada di samping kepalaku.
"Gerakanmu sungguh bagus, Jordan," katanya dengan sebuah senyuman nakal.
"Aku pandai berkelahi, asal kau tahu saja." Kutendang perutnya seperti terakhir kali kami bertemu. Namun dia berhasil menangkisnya.
"Tidak semudah itu." Tangan kanan Luke menangkis lututku.
Kutinju kembali perutnya dengan tanganku yang bebas. Tentu saja dia tidak memperkirakan itu. Luke mundur beberapa langkah, membuatku mendapatkan sedikit ruang untuk menggapai kenop pintu.
Tapi dengan cepat, Luke menggapainya juga. Sebelah tangannya sudah melingkari pinggangku. Kami seolah seperti seseorang yang akan menari.
Kutarik tubuhku dengan cepat dan menghindarinya. "Kau sebaiknya pergi dari sini sebelum kutinju wajahmu," ancamku.
"Wow, agresif. I like that," gumamnya.
Pria ini benar-benar membuatku frustasi. Kuhembuskan napas panjang karena kelelahan. Kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Luke mengekorku hingga ke dapur.
"Itu menyenangkan," katanya.
Aku tidak menanggapinya. Kemudian berjalan kembali menuju ruang tamu, mengambil sepatu di rak dan berjalan keluar apartemen.
"Hey, kau mau ke mana?" tanyanya.
"Aku menyerah," ujarku sambil mengenakan sepatu. "Kau bisa tinggal di apartemenku. Aku yang akan pergi."
"Oh, ayolah—" sebuah dering telepon milik Luke berbunyi sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Luke menatap layar teleponnya dan mengangkatnya. "Ya, ada apa?" tanyanya pada seseorang dari balik sambungan telepon.
Dia kemudian diam untuk mendengarkan. Anehnya, aku penasaran dengan siapa dia berbicara.
"Ya, akan aku hubungi kau nanti." Dan Luke memutuskan sambungannya. Dia kemudian beralih padaku. "Aku sangat menikmati waktuku denganmu. Tapi aku harus pergi. Aku akan menemuimu nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play With a Player
RomanceJordan Shaterlee, pergi dari rumah orang tuanya saat berumur 18 tahun. Bertemu Morgan, sahabat sekaligus satu-satunya orang yang memiliki kesamaan dengannya, mulai dari namanya yang seperti laki-laki hingga family issues. Menjadi seorang bodyguard s...