Semua anak kecil punya cita-cita. Pilot, polisi, dokter, aktor, dan berbagai profesi yang menjanjikan. Bagiku, semua itu terdengar tidak nyata.
"Jordan, kemari, Ayah ingin kau memperhatikan apa yang Ayah kerjakan." Ayahku duduk di kursi kerjanya sembari memilah-milah kertas di depannya.
"Untuk apa?" tanyaku. Saat itu umurku 10 tahun untuk bisa mengerti apa yang ayahku kerjakan. Pekerjaan membosankan.
"Karena suatu hari nanti, kau akan mengantikanku dan menjadi pengacara yang terhebat di dunia." Ayahku selalu terdengar bersemangat. Untukku, itu terdengar seperti obsesi dirinya yang dipaksakan padaku.
Jadi aku katakan pada ayahku. "Tidak, aku tidak ingin menjadi seperti ayah."
Aku tahu itu terdengar jahat. Tapi, ayahku adalah orang yang keras kepala, tidak heran bagaimana dia memenangkan kasus-kasusnya. Jadi, mengatakan hal seperti itu adalah sesuatu yang masuk akal untuk menentangnya.
"Lalu kau ingin menjadi apa?" tanya ayahku penuh dengan amarah yang hampir membeludak. Untungnya, aku masih sangat muda untuk dicaci maki olehnya, jadi dia tidak melakukan hal itu.
Kupandangi televisi yang menyala di ruangan. Acara televisi yang seharusnya mendidik dan mengedukasi untukku berganti menjadi sebuah film aksi dengan adegan tembak-menembak yang mengesankan.
"Aku ingin menjadi pemain film," kataku.
Bersamaan dengan itu seorang pria yang seumuran dengan ayahku masuk ke ruangan. Di belakangnya, seorang anak muda mengikutinya. Aku menebak-nebak umur anak itu, mungkin lima belas tahun.
"Robert, kau punya waktu luang? Aku butuh bantuanmu." Pria itu tanpa basa-basi menjelaskan maksud kedatangannya.
"Seharusnya kau membuat janji terlebih dahulu, Cole. Tapi karena kau adalah klien kesukaanku, kau bisa mengatakan padaku masalahmu," ujar ayahku.
Pria yang dipanggil Cole itu menoleh ke si Anak Muda. "Kau tunggu di luar saja, ajak si kecil denganmu."
Aku tahu yang dia maksudkan dengan anak kecil itu aku. Dan itu menyebalkan. "Ayah ingin tahu kenapa aku tidak ingin menjadi pengacara?" tanyaku dengan polosnya.
Ayahku mengerutkan keningnya, tanda bahwa dia tidak tahu.
"Karena aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang seperti teman ayah yang menyebalkan." Lalu kutinggalkan ruangan dengan wajah cemberut.
Kuputuskan untuk duduk di dekat sebuah pohon hias yang tingginya menyamaiku. Tiba-tiba, si Anak Muda duduk di sampingku.
"Untuk ukuran anak kecil, kau sedikit menyebalkan," katanya.
Aku diam saja. Tidak ingin menanggapinya.
"Seharusnya jika kau tidak menyukai suasana kantoran, kau tidak perlu ikut dengan ayahmu," katanya lagi.
"Aku harap iya, kalau saja aku punya pilihan," ujarku akhirnya. Tentu saja ayah yang memaksaku untuk ikut, sedangkan ibu sedang pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.
Anak muda itu menoleh ke arahku. "Berapa umurmu?" tanyanya.
Alih-alih tidak mau bicara, kutunjukkan sepuluh jariku.
"Aku 16 tahun. Untuk ukuran remaja, aku masih terlalu muda untuk belajar mengenai saham, bisnis, dan semacamnya. Tapi ayahku menginginkannya, jadi kuturuti kemaunnya," jelasnya.
"Kenapa kau menuruti kemauannya? Memangnya, kau ingin menjadi apa?" tanyaku penasaran.
Dia diam sesaat. Kemudian tersenyum seolah ada hal yang lucu. "Aku ingin menjadi mata-mata."
"Apa itu mata-mata?" tanyaku lagi.
"Mata-mata adalah seseorang yang bekerja dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Untuk menjadi mata-mata kau harus menjadi kuat," jawabnya.
Jawaban yang aku temukan beberapa tahun kemudian saat cukup mengerti mengenai semua itu, lebih rumit dari yang kuduga.
Sekarang, aku yang menoleh ke arah anak muda itu. Kupandangi matanya yang berwarna biru laut yang jernih. "Lalu, kenapa kau tidak menjadi mata-mata. Kau bisa katakan pada ayahmu apa yang kau inginkan."
"Andai semudah itu. Aku tidak bisa." Aku mendengar nada putus asanya. "Kau tahu, aku punya seorang adik perempuan seumuran denganmu."
Aku tidak mengerti kenapa dia menceritakan itu padaku. Tapi aku hanya diam, seolah mendengarkannya.
"Dia sangat suka berlari-lari keliling rumah dengan pakaian pahlawan super kesukaannya, Iron Man. Dan mengeluarkan bunyi 'paw paw' setiap kali dia menunjukkan tangannya," dia menirukan adegan itu untuk membuatnya lebih spesifik.
Tapi aku masih tidak mengerti kenapa dia menjelaskannya padaku.
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau suka?" tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. Selama ini, aku tidak tahu pasti apa yang aku suka. Ayahku selalu mengajarkanku apa yang dia suka. Bermain golf, menonton acara kesukaannya mengenai politik, dan membaca koran khusus rubrik politik. Dia membuatku menjadi dirinya.
"Kau masih 10 tahun, kau pasti akan punya sesuatu yang sangat kau sukai," katanya menyemangati.
"Bagaimana jika tidak? Atau bagaimana aku tahu aku menyukainya?" tanyaku.
"Saat kau menyukai sesuatu hal, kau akan merasakan adrenalin mengalir di sekujur tubuhmu. Kau begitu bersemangat, sampai-sampai kau merasa bahwa itu yang akan kau lakukan seumur hidupmu." Dia kemudian tersenyum padaku.
Apakah aneh saat kau menyukai seseorang yang umurnya terpaut cukup jauh dan dia memiliki adik yang seumuruan denganku?
Setelah mendengar perkataannya, aku jadi terus memikirkan apa yang aku suka. Saat melihat film-film aksi, aku begitu bersemangat, walaupun kebanyakan aku hanya menonton sekilas karena aku belum cukup umur untuk menontonnya.
Beberapa menit kemudian, ayahku keluar bersama dengan kliennya. Mereka berjabat tangan.
"Terima kasih, Shaterlee," ujarnya.
"Sebuah kesenangan bisa membantumu, Eldrich," balas ayahku.
Kliennya itu akhirnya pergi, bersama si anak muda. Karena penasaran, kutanya ayahku siapa orang itu.
"Ayah, siapa mereka?" tanyaku.
"Itu Mr. Eldrich dan anaknya," jawab ayahku.
Nama itu terus berada diingatanku. Membayang-bayangiku selama sepuluh tahun ini. Sampai aku tahu, bahwa keluarga Eldrich adalah di luar jangkauanku.
Ayaku terus memaksaku untuk menjadi seperti dirinya. Tapi perkataan Eldrich muda saat itu, masih terus teringat. Karena itu, aku tahu apa yang aku inginkan. Dan aku tidak akan membiarkan ayahku mengatur hidupku. Aku sadar bahwa kita selalu memiliki pilihan. Pilihan yang mungkin tidak akan tahu jalannya, jika kita tidak mengikutinya.
Aku ingin kalian mendengarkan baik-baik. Cerita ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Jika kalian membayangkan kisah percintaan seorang gadis biasa yang bertemu dengan pria kaya, CEO, tampan, dan playboy, mungkin sebaiknya kalian berhenti sampai sini. Hidup tidak semudah itu, kawan.
Tidak seperti kisah dongeng-dongeng yang seringkalian dengar. Walaupun kadang, kita berharap seperti itu. Tapi aku pastikan,tidak ada yang namanya kebetulan. Dan kisah-kisah semacam itu hanya akan kautemui dalam buku atau film.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play With a Player
RomanceJordan Shaterlee, pergi dari rumah orang tuanya saat berumur 18 tahun. Bertemu Morgan, sahabat sekaligus satu-satunya orang yang memiliki kesamaan dengannya, mulai dari namanya yang seperti laki-laki hingga family issues. Menjadi seorang bodyguard s...