BIP : 03

19 2 0
                                    

The Writers Marigold Present

Bullyship In Friend - Kelompok 4

Created By : Mayas341

***

Di atas ranjang miliknya, tubuh penuh penat dibaringkan. Wajahnya menghadap langit-langit kamar mendapat cahaya rembulan secara langsung dari arah jendela, matanya terpejam namun ukiran senyum dapat dilihat dengan jelas bahwa dia sedang bahagia.

Kini, tangan mungilnya mulai mencari sebuah benda pipih yang biasa digunakan untuk mengirim pesan dalam tas miliknya. Saat tangannya berhasil meraih handphone, dengan lincah jarinya menghidupkan benda itu, matanya mulai menyinarkan percikan bahagia saat memandang foto yang menjadi walpaper handphone-nya tanpa meninggalkan sebuah senyum lebar.

Foto bersama dengan sahabat nya siang tadi di sekolah, sinar bahagianya dapat ditangkap bahwa dirinya tidak ingin sebuah perpisahan terjadi karena baginya di dunia ini tidak lengkap tanpa seorang sahabat.

“Ehem, lagi bahagia nih,” ucap seseorang dengan tangan disilangkan ke dada, wajahnya mulai mengintip apa yang membuat anaknya sebahagia itu.

Entah sejak kapan memperhatikan dirinya, Vinka yang terkejut langsung terbangun, meletakkan handphone di sampingnya dan mulai agak menepi untuk memberikan ruang untuk ayahnya duduk.

“Ayah besok lusa mau pergi, kamu mau ikut gak?” tanya sang Ayah yang kemudian langsung menempatkan diri duduk di samping anaknya itu.

“Kalo kamu gamau ikut nanti Ayah bisa ngomong sama Tante kamu biar nemenin di rumah,” tambahnya lagi diikuti gerakan  tangan yang menimang dirinya sejak kecil itu tanpa diminta mulai meraih rambut Vinka, mengambil sisir di meja dekat ranjang dan mulai menyisir lembut rambut yang masih terkuncir satu agak berantakan itu.

Ayah Vinka memang sangat menyayangi dirinya, ia menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi Vinka. Maklum saja sejak kecil tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu, Vinka sendiri juga belum pernah menatap wajah ibunya secara langsung karena dirinya telah ditinggal sejak lahir.

“Emang mau kemana?” Vinka yang mendapati perlakuan itu tak segan untuk tidak menolak, ia menempatkan dirinya untuk berputar 180 derajat dan membelakanngi ayahnya.

Selesai rambutnya tertata rapi, Vinka mulai memperbaiki cara duduknya seperti semula, mengahadap ke Ayah nya dan langsung membaringkan diri di paha tanpa diminta.

“Kalo kamu mau ikut nanti Ayah ijin ke sekolah kamu.”

Tubuh yang baru saja dibaringkannya itu tanpa aba-aba langsung terbangun, suaranya langsung saja memotong ucapan Ayahnya.

“Apasi Yah, Aku udah besar kali, lagian kalo sendiri nanti kan ada Bianca buat nginep disini nemenin Vinka, boleh kan? Lagian aku gamau bolos sekolah.”

Ayahnya sampai terkejut akan perilaku anaknya itu dan hanya memberikan respon positif . “Iya boleh, kamu kabari aja dia nanti Ayah ngomong sama orang tuanya,” katanya yang hanya diangguki oleh Vinka.

“Bianca!” teriak Vinka menghampiri sahabatnya yang sedari tadi menunggu di ruang tamu.

“Loh, di mana Rendra?” Yah, seperti biasanya Vinka selalu dijemput oleh sahabat-sahabatnya itu, tapi kali ini Rendra tidak ikut.

“Gatau, gak ngasih kabar sama sekali.” sahutnya dan langsung mearik tangan Vinka agar tidak terlambat. Sebenarnya Bianca mungkin tahu Rendra sedang menyiapkan barang-barang yang ingin dibawanya pergi.

Sesampainya di sekolah, mata Vinka tertuju pada kelas Rendra. Tak ada sama sekali sosok yang dicarinya, tiba-tiba helaan nafas keluar dari mulut Bianca.
“Gak berangkat dianya.” Vinka hanya mengangguk dan memasuki kelas.

“Terlalu pagi berangkatnya ya,” ucap Vinka sembari meletakkan tas di meja, mengecek laci meski tidak ada apapun dan mulai duduk, Vinka mulai melirik Bianca yang duduk di sampingnya yang sedang bermain handphone, tidak ada jawaban darinya.

Vinka juga hanya diam melihat papan tulis putih depan kelas, membaca sisa-sisa tulisan yang telah dihapus dengan dagu yang ditopangkan ditangan.

“Vin, gimana perasaan lo kalau umpama sebuah sahabat ada yang ninggalin atau pergi karena ada masalah tertentu?” Suara Bianca kini mulai membuka percakapan mereka berdua.

Wajah Vinka mulai terbangun. “Kok nanya gitu?” Vinka balik bertanya, namun Bianca kini malah diam kembali.

“Del, buku gue mana?!” Suara Bianca menggema seisi kelas, Kini Vinka mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya itu, tidak biasannya ia menelantarkan ucapannya meski hanya sepatah kata ia selalu menjawab.

Vinka yang tidak mau berfikir negatif pada sahabatnya hanya memandangi Bianca keluar kelas menemui Adel.

Untuk menghilangkan kejenuhan sembari menunggu bel masuk, tangannya meraih tas di depannya, membuka resleting dan mengambil hadphone miliknya.

“Hm, pesan semalem.” Jari-jarinya memainkan handphone dengan sangat lincah, membuka pesan-pesan yang masuk tanpa membalasnya.
#.

Bestie 4ever (7)

Narendra Marchles
Woy kalean jangan pada gelud kalo gaada gue, kasian nanti yang jadi wasitnya

Bianca Prandita
Apasi lu malem-malem juga

Narendra Marchles
Yaudah si sorry
Tapi beneran dah ini
Gak ada yang nyaut hmm
Dahlah gue mau pergi

#.

“Sebenernya ada apasi?” Pertayaan-pertanyaan itu kini memberatkan kepalanya, Vinka hanya kembali meletakkan ponsel dalam laci dan menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan.

Setelah jam sekolah  selesai, seluruh siswa mulai  memenuhi gerbang. Bianca dan Vinka pun ikut memenuhi depan sekolah sembari menunggu bis jurusan mereka pulang. Hari ini hujan turun, membuat halaman sekolah becek dan dipenuhi payung.  Bianca dan Vinka yang tidak membawa payung hanya menunggu di halte.

“Bianca pulang ke rumah kan?” tanya Vinka menghangatkan suasana, sejak pertanyaan yang dilontarkan dalam kelas tadi pagi tak ada percakapan-percakapan lagi, mereka sibuk dengan handphone-nya masing-masing.

“Iya, males si tapi kasian lu sendiri.” Kekehnya sambil menarik tangan Vinka agar tidak ketinggalan bis.

Vinka yang mendengar ucapan sahabatnya itu kembali tersenyum. Ia begitu bahagia melihat sahabatnya kembali tersenyum walaupun dalam hatinya masih penasaran apa yang disembunyikan oleh kedua sahabatnya itu.

Sesampainya di depan rumah, Vinka telah disambut hangat oleh Ayahnya yang telah siap berangkat ke kampung halaman.

“Eh udah pulang, Ayah gak jadi berangkat besok. Maaf ya, kalian langsung aja ke dalem, makan siang udah siap. Jangan lupa ganti bajunya,” katanya sembari bersalaman.

“Iya Ayah gapapa, kami masuk dulu.” Saat hendak masuk tangan Bianca ditahan oleh Ayah Vinka, entah apa yang  dikatakan Vinka tidak bisa mendengar karena ia disuruh masuk terlebih dahulu.

“Bianca pakai baju Vinka dulu gapapa ya?” tanya Vinka sembari membawakan baju miliknya.

“Jadi lu tuh enak ya, gapernah diomelin bahkan selalu dimanja.” Perkataan Bianca membuat suasana menjadi senyap, mata Vinka melihat sahabatnya itu merasakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Bianca melepas sepasang sepatunya, meletakkan di rak ruang tamu dan mengambil baju yang dibawakan Vinka.

***

Bullyship In FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang