Aku menggeleng cepat. Berusaha mengenyahkan ingatan sembilan tahun lalu yang entah kenapa memenuhi kepalaku. Padahal itu memori yang tidak ingin aku ingat lagi. Bahkan jika bisa, aku berharap bisa lupa.
Aku menyambar ponsel di atas meja kasir sekedar mengalihkan pikiran. Sebenarnya tidak banyak juga yang bisa aku lakukan di ponsel. Aku jarang membuka sosial media, apalagi WhatsApp. Sangat jarang rasanya aku membalas grup atau pesan-pesan tidak penting. Kalau sekedar menanyakan kabar, sudah pasti aku abaikan.
Yang rajin aku gubris hanya teman-teman dekatku. Itu pun kami jarang saling berkabar, mereka semua sudah sibuk dengan urusan masing-masing.
“Atri!”
Aku menoleh ke arah pintu masuk. “Oma!”
Perempuan dengan rambut separuh memutih yang ditata rapi membentuk sanggul itu merentangkan kedua tangannya. Aku tersenyum menunjukkan beberapa deret gigiku dan menghampirinya.
“Oma, aku bukan anak kecil lagi,” rengekku.
Oma menunjukkan wajah yang dibuat seolah-olah kecewa lalu menurunkan kedua tangannya. “Kamu memang masih kecil, belum dewasa,” katanya diakhiri senyum cerah.
Keriput di sudut matanya semakin tampak. Kadang, aku tidak suka melihat wajah Oma dari dekat. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa Oma semakin tua dari tahun ke tahun.
Aku tertawa sebelum memeluknya erat-erat, “Oma kenapa tiba-tiba ke toko?”
“Mau ketemu cucu satu-satunya Oma dong.” Oma melepas pelukanku, “Tadi Oma ke rumah tapi kamunya enggak ada.”
“Sekalian mau ketemu Lisa,” lanjut Oma menggenggam tanganku dan mengajakku ke dapur.
“Cuma kamu yang jaga di depan? Yang lain mana?” tanya Oma mengedarkan pandangan.
“Yani sakit, kalau Juli di dapur.”
“Oh, gitu..”
“Oma!” teriak Juli girang yang lebih dulu menyadari keberadaan Oma di pintu dapur.
Oma tersenyum simpul. Juli yang duduk di depan meja langsung menghampiri Oma dan mencium punggung tangannya. Baru saja yang lain ingin melakukan hal yang Juli lakukan, Oma segera menahan dan meminta agar mereka lanjutkan saja pekerjaannya.
Mbak Lisa yang selesai memasukkan loyang roti, ikut menghampiri Oma. “Oma, apa kabar?”
“Baik,” jawab Oma memeluk Mbak Lisa.
Sebelum toko ini berpindah tangan, Mbak Lisa memang sudah bekerja untuk Oma. Jadi, Mbak Lisa ini termasuk orang kepercayaan Oma dan aku tentunya. Sementara yang lain, aku yang merekrut.
Dulu, beberapa dari pegawai tidak begitu percaya ketika aku memegang kendali. Satu per satu dari mereka berhenti. Mau tidak mau aku harus mencari pegawai baru dan yang membuat terharu itu Mbak Lisa. Dia percaya padaku dan tetap tinggal.
“Mama kamu apa kabar. Baik?” tanya Oma sembari mengusap pucuk kepala Mbak Lisa.
Mbak Lisa mengangguk kecil. “Baik, Oma.”
“Kamal, kamu gantiin Lisa, ya?” titah Oma.
Kamal mengangguk patuh. “Siap, Oma!”
“Oma mau ngobrol banyak sama kamu,” kata Oma pada Mbak Lisa.
“Oma ke sini mau ketemu Mbak Lisa apa aku sih?” selaku menyindir Oma.
Oma mengelus pipiku sembari tersenyum. “Malam ini Oma nginap di rumah kamu. Jadi, siang ini bagiannya Lisa.”
“Ayo,” ajak Oma meninggalkan toko bersama Mbak Lisa.
Aku memperhatikan punggung mereka hingga menghilang ketika mobil Oma pergi. Kadang aku penasaran, hal apa yang selalu mereka bicarakan berdua. Karena bukan sekali ini saja Oma mengajak Mbak Lisa. Biasanya, setiap Oma berkunjung ke rumahku. Oma pasti tidak lupa mengajak Mbak Lisa makan dan ngobrol. Anehnya, aku tidak boleh ikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Kedua
RomanceTahun ini usia Katrina genap 26 tahun. Dan dalam jangka waktu setahun kemarin, sudah ada dua pria yang berani datang ke rumahnya. Bermaksud melamarnya. Katrina menolak dengan tegas. Alasannya? Yang pertama, Katrina merasa tidak akan cocok dengannya...