9 | Tentang Aryani

3.5K 512 3
                                    

Kata orang, cinta tumbuh karena terbiasa. Dan sekarang, aku takut jatuh cinta lagi pada Mas Abhi. Iya, lagi. Aku pernah menyukai Mas Abhi.

Sejak kecil tumbuh bersama, membuatku terbiasa dengan keberadaan Mas Abhi. Justru aku merasa aneh jika sehari saja tidak melihatnya. Dia adalah sosok sempurna bagi perempuan manja dan kekanak-kanakan sepertiku, sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak yakin kapan perasaan suka itu mulai tumbuh, yang jelas aku baru menyadari perasaanku saat duduk dibangku SMA.

Waktu itu, aku memaksa diriku untuk tetap waras. Aku menganggap, kala itu aku belum bisa membedakan mana perasaan suka kepada lawan jenis dan laki-laki yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Hingga akhirnya aku pindah, perasaanku tetap tersembunyi dan tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan sampai detik ini.

“Kamu mikiran apa?”

Aku terperanjat dari lamunanku dan segera menggeleng. Aku bermaksud melepas sabuk pengamanku namun kemudian urung aku lakukan. Ada pertanyaan yang harus aku ajukan pada Mas Abhi.

“Mas.”

Mas Abhi bergumam pendek sambil menatapku dengan alis terangkat.

“Seandainya, gue nolak Mas Abhi. Apa yang bakal Mas lakuin?”

Kening Mas Abhi berkerut. “Maksudnya?”

Aku menghela napas panjang lalu mengulang pertanyaanku. “Maksudnya, apa Mas Abhi cari perempuan lagi, jomlo seumur hidup atau lamar gue untuk yang ketiga kalinya?”

Mas Abhi melepas pandangannya dariku. “Emm.. Enggak tau.”

“Kenapa enggak tau?”

Mas Abhi mengendikan bahu. “Karena aku enggak pernah kepikiran kamu nolak aku kali ini.”

Tanpa sadar aku mendengus. “Pede banget.”

Mas Abhi tidak menyahut dan hanya tertawa kecil. Aku juga diam sejenak. Belum berniat turun karena merasa pertanyaanku barusan belum menemukan titik terang. Aku hanya ingin tahu apa yang akan terjadi pada Mas Abhi jika aku menolaknya.

Tiba-tiba kaca jendela di sampingku diketuk. Aku menoleh cepat dan menurunkan jendela. “Kenapa, Mbak?”

“Atri,” panggil Mbak Lisa. Alisnya bertaut dengan pandangan yang tak fokus.

Sekilas aku melihat Mas Abhi kemudian membuka pintu mobil. Mbak Lisa langsung menggenggam kedua tanganku. Dan saat itulah aku merasa tangan Mbak Lisa gemetar. Aku ikut panik dan bingung harus bertanya apa.

“Lo tenang dulu,” kata Mas Abhi berdiri di sampingku. “Coba cerita pelan-pelan.”

Mbak Lisa mengangguk cepat lalu menarik napas perlahan. “Yani masuk rumah sakit, tadi.. tadi adiknya telepon gue sampai nangis-nangis. Kita ke rumah sakit sekarang, ya? Takutnya Yani kenapa-napa.”

Aku meremas tangan Mbak Lisa. “Mbak tenang dulu, jangan khawatir. Biar gue yang ke rumah sakit. Oke?”

Sekali lagi Mbak Lisa mengangguk patuh namun matanya tidak bohong. Mbak Lisa masih sama cemasnya. Meski usianya berada di atasku, Mbak Lisa memang gampang panik. Apalagi jika mendengar kabar buruk dari orang yang ia kenal.

“Setelah makan siang, Mbak tutup toko dan nyusul ke rumah sakit,” lanjutku.

Mbak Lisa memelukku sebelum akhirnya aku kembali masuk ke dalam mobil Mas Abhi. Jujur, aku merasa bersalah. Seharusnya waktu itu aku menjenguknya. Seharusnya aku tidak percaya saat Yani bilang dia baik-baik saja. Seharusnya..

Aku menunduk menatap tangan besar yang membungkus tanganku. Pikiranku yang melayang jauh kembali tersadar karena Mas Abhi.

“Jangan khawatir.”

Lamaran Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang