Aku cemburu. Kedekatan mereka membuat perasaanku tidak karuan. Aku tahu Oma dan Mbak Lisa sudah lama saling mengenal. Tapi, aku ada di sini dan kenapa Oma justru lebih dulu menenangkan Mbak Lisa dibanding aku cucunya? Oma tahu aku takut berada di rumah sakit, aku yang lebih lama menemani Sinta dan aku juga butuh pelukan.
“Oma..” panggilku pelan.
Oma melepas pelukan Mbak Lisa kemudian menghampiriku. Kedua tangannya terangkat, membungkus sisi wajahku. “Astaga Atri, kamu kenapa enggak bilang sama Oma?” tanya Oma lembut.
Mood-ku jadi jelek karena kejadian barusan. “Aku bisa atasin ini kok Oma. Lagian ada Mas Abhi yang nemenin aku.”
“Jangan ngomong gitu, bagaimana pun Oma masih punya tanggung jawab sama pegawai toko. Untung ada Lisa yang kabarin Oma.”
Aku mengangguk lalu melirik Sinta. “Aku keluar dulu,” pamitku menatap Juli, Oma dan Mbak Lisa bergantian.
“Kamu mau ke mana?” Oma mencekal pergelangan tanganku.
“Ada yang harus aku urus. Oma di sini aja sampai Yani siuman.”
Selama ini, sebagai cucu satu-satunya Oma memang tidak pernah membagi kasih sayangnya pada siapa pun. Aku tidak pernah melihat Oma sekhawatir itu. Bahkan pada Mas Abhi sekalipun, yang jelas-jelas Oma kenal sejak lama. Haa.. Mengingatnya saja membuatku ingin segera pulang.
Setelah menyelesaikan biaya rumah sakit Yani, aku langsung memesan taksi online. Dalam perjalanan menyusuri koridor rumah sakit, aku terus mempertanyakan hal yang sama. Kenapa? Apa saat ini Oma lebih menyayangi Mbak Lisa ketimbang aku? Apa Oma butuh sosok cucu yang dewasa dan bisa diandalkan? Tapi, kan, aku juga bisa. Berani mengambil alih toko adalah langkah awalku. Dan sekarang, sebagai pemilik aku berani melawan ketakutanku demi Yani.
Tiba-tiba ponsel di genggamanku bergetar. Aku berhenti, sekadar mengintip siapa menghubungiku karena tak kunjung kembali. Dari Mas Abhi. Aku menghela napas, padahal aku berharap telepon barusan dari Oma. Maaf Mas, saat ini aku tidak ingin bersitatap dengan Mas Abhi. Laki-laki itu bisa tahu apa yang aku rasakan hanya dengan melihatku sekilas. Ponsel aku masukkan ke dalam tas kemudian melanjutkan langkahku.
***
“Atri.”
“Katrina!”
“Kamu enggak ke toko?” teriak Mamak dari luar kamar.
Aku menarik selimut hingga menutupi kepalaku. “Enggak!”
“Kalau gitu bangun Atri, udah siang.”
Aku mendesah malas lalu melempar selimutku. Padahal aku masih mengantuk. Tapi, daripada Mamak mengamuk aku tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya. Jika dibandingkan Papa, Mamak memang agak menyeramkan.
Selesai mencuci muka, aku keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Bukannya menemukan Mamak, aku malah melihat punggung seorang pria. Yang aku yakini adalah Mas Abhi. Siapa lagi orang yang berani masuk ke rumahku dan bahkan memindahkan ikan goreng dari wajan ke atas piring.
Mas Abhi belum menyadari keberadaanku. Aku memilih duduk sambil mengikat rambutku yang mencuat ke sana kemari.
“Mamak mana?” tanyaku kemudian meneguk habis air di dalam gelas.
Mas Abhi menengok dari balik punggungnya. “Oh! Udah bangun.”
“Ke warung, beli garam katanya,” lanjut Mas Abhi kemudian duduk di hadapanku.
“Mas.”
“Hmm?”
“Mas beneran enggak ada kerjaan, ya?” tanyaku sedikit mencondongkan tubuh ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Kedua
RomanceTahun ini usia Katrina genap 26 tahun. Dan dalam jangka waktu setahun kemarin, sudah ada dua pria yang berani datang ke rumahnya. Bermaksud melamarnya. Katrina menolak dengan tegas. Alasannya? Yang pertama, Katrina merasa tidak akan cocok dengannya...